33

197 22 0
                                    

Hanya malam ini aku bisa menikmati suasana di luar dengan duduk di balkon kamar Laura sambil menyesap teh. Tiba-tiba ibu Martijn datang dan duduk disebelahku.

"Ahh sudah lama tidak melihatmu, Bella. Kau terlihat berbeda." seru ibu Martijn padaku.

"Benarkah? Apa yang berbeda dariku?"

Aku dan ibu  Martijn saling berhadapan dan ibu Martijn memegang kedua pipiku. "Kau tampak tak sehat." ujarnya. "Apa yang dilakukan Heather sampai kau seperti ini? Kau harus istirahat sekarang!" tambahnya.

Aku pun tersenyum. "Itu tidak perlu, aku baik-baik saja."

"Hmm pokoknya, ibu ingin kau istirahat. Biarkan ibu merawatmu. Anggaplah aku ibu keduamu." ujarnya sambil berjalan menuju kasur di kamar yang sangat berantakan, kemudian ia merapikannya.

Aku pun menghampirinya. "Ibu... Aku baik-baik saja, biar aku saja yang merapikan kamar ini. Sebaiknya ibu yang beristirahat. Aku tahu, ibu pasti kelelahan karena ibu baru saja datang."

Ibu Martijn kembali duduk di kursi bakon begitupun denganku. "Besok adalah hari jadi Martijn. Apa kau sudah menyiapkan sesuatu?" tanyanya padaku.

"Tentu."

Ia pun tersenyum padaku dan menghela napasnya. "Jika Heather tidak ada, mungkin kau sudah menikah dengan putraku. Kau pasti menerima lamarannya."

"Hmm begitulah." ujarku

"Ketika dia melamarmu, apa yang ada dihatimu?" tanyanya padaku.

Aku menghela napasku dan menghadapkan wajah ke arahnya. "Campur aduk. Ingin sekali menerimanya tetapi aku tidak ingin bahagia di atas penderitaan orang lain. Jika aku menerimanya, Heather pasti menderita."

"Kau sangatlah baik. Kau rela berkorban demi kebahagian Heather. Itu sebabnya ibu ingin kau tetap disini, bukan karena ingin melihatmu menderita tetapi ibu ingin melihatmu bersama Martijn. Ibu hanya merasa Heather mempalsukan kehamilannya, ibu sungguh tidak percaya Martijn melakukan perbuatan yang tidak senonoh."

Aku pun melihat air matanya yang menetes. "Sungguh ibu tidak ingin kau pergi. Ibu ingin sekali mempunyai menantu sepertimu."

Aku pun tersenyum dan menggenggam tangannya. "Aku tidak akan meninggalkanmu." ujarku. Sungguh, aku tidak bisa menahan air mataku. Dan akhirnya aku menangis.

"Sudahlah bu, beristirahatlah." lanjutku.

"Yah ibu harus beristirahat. Nikmatilah malam indah ini. Jaga kesehatanmu sayang." Ibu Martijn meninggalkanku sendirian.

"kenapa aku terlihat sangat pucat?" ucapku pelan sambil menatap cermin make up Laura. Mengalami sakit saja aku hampir tidak pernah. Aneh.

Aku pun tertarik terhadap peralatan make up milik Laura. Dan dengan diam-diam, aku menata rias wajahku dengan peralatan make up milik Laura.

Baru saja melukis bibir dengan lipstik yang berwarna merah muda cerah, Laura datang hingga membuatku terkejut. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya padaku.

"Hmm... Emm—"

"Eh ini lipstikku!" serunya sambil merampas lipstik yang kupegang. Kemudian, ia menatap wajahku dengan teliti. "Bibirmu pucat sekali." tambahnya.

"Yahh, karena itu aku menata rias wajahku. Tapi maafkan aku, aku tidak mempunyai peralatan make up seperti ini." ujarku.

Ia menatapku tersenyum, "biarkan aku membuat wajahmu terlihat cantik." Ia pun menyuruhku duduk di kasur dan ia duduk di hadapanku. Kemudian, ia menyuruhku menutup mata, karena ia ingin memberi eyeliner di mataku dan begitu pun seterusnya, hingga akhirnya aku boleh melihat wajahku di depan cermin.

"Bagaimana?"

"Entahlah, aku tidak bisa memberimu kritikan. Kau berbakat dalam menata rias wajah, Laura."

"Kau sungguh cantik. Kau memiliki pola wajah yang nyaris sempurna. Bahkan aku sempat kagum melihat bibir dan matamu itu." ujar Laura.

Aku pun mengambil ponselku, lalu berselfie ria bersama Laura. "Kau harus menunjukan ini kepada Martijn, dia pasti terpukau padamu."

"Ahh, dia sedang bersama Heather."

Laura membuka lemari pakaian dan melihat kotak kado buatanku yang akan kuberikan ke Martijn besok, jika bisa.

"Hmm, isi kado ini apa? Apa aku boleh membukanya?" tanyanya padaku sambil membuka kado. Dengan sekilas, aku mengambil kado itu. "Jangan dibuka!" teriakku.

"Why, Bella?"

"Isinya hanya barang rongsokan." ujarku.

"What?! Barang rongsokan?" tanya Laura terkejut.

"Iya itu hanya barang rongsokan, tapi itu berharga bagiku."

Wajahnya pun langsung tersenyum jahil padaku. "Ohhh aku tahu, itu pasti barang—"

"Yayaya, kau benar." potongku dengan wajah yang memerah seperti tomat matang.

Don't Let Me Alone [MG] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang