Timun hanya bisa terbalak kaget ketika melihat sang pertapa menyelamatkan raksasa dari lumpur hidup. Makhluk itu kini berjalan mendekatinya, membuat gadis itu merangkak mundur, berusaha melarikan diri.
"Tenang saja, Nduk." Suara tua sang pertapa membuat gerakan Timun berhenti. "Dia tidak akan melukaimu."
Gadis itu menatap lawan bicaranya seakan sudah gila, tapi ajaran ibu untuk tidak membantah orang tua membuat Timun bungkam. Dia hanya memandang sengit ke arah raksasa yang kini telah berdiri di hadapannya, menjulang tinggi.
"Duduk dan ceritakan apa yang terjadi," perintah sang pertapa dengan otoritas.
Raksasa yang kehilangan amarah dan nafsu mengejar Timun, menurut. Dia memandang sekilas ke arah gadis itu sebelum duduk bersila di hadapan pertapa. Timun masih melempar tatapan tidak percaya pada hal yang terjadi di depannya. Raksasa yang penurut dan pertapa yang berkuasa, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
"Apa kamu tahu hukuman bagi pencuri pusaka?" tanya orang tua itu ketika makhluk itu tak kunjung membuka mulut.
"Maafkan saya, Mbah." Timun berjengit mendengar suara kasar yang dikeluarkan. Kata-kata itu nyaris terdengar seperti geraman berbanding terbalik dengan tata bahasa yang sopan. "Saya hanya ingin memiliki teman bicara. Sejak dikutuk menjadi raksasa, tidak ada satu pun manusia yang mau berbicara pada saya."
Timun menoleh ke arah raksasa dan pertapa secara bergantian, tidak paham, sambil berusaha mencerna apa yang sedang terjadi di sini. Raksasa dikutuk? Gadis itu memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman tapi juga tetap siaga bila sewaktu-waktu Raksasa berulah, merasakan pergelangan kakinya berdenyut nyeri.
"Tapi, siapa Mbah?" tanya Raksasa bingung, merasa tidak pernah mencuri dari seorang pertapa tua.
"Ah, iya. Kamu tidak mengenaliku dengan sosok seperti ini," balas sang pertapa dengan suara pria yang jauh lebih muda.
Timun membelalakkan mata, memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Saat dia melihat kakek itu, perlahan-lahan wujudnya berubah. Dia menjadi lebih tinggi dan tegap, bajunya berganti menjadi celana hitam ditutupi oleh jarik dari batik bermotif parang rusak. Tubuhnya berotot, hanya memakai luaran tanpa lengan dan kancing. Wajahnya tegas dan matanya dalam serta tajam. Sisa-sisa keringkihannya lenyap, pemuda di hadapannya tampak bisa mengalahkan lima raksasa sekaligus.
"Jadi, ceritakan, mengapa kamu tidak memintaku menghapus kutukan itu dan malah mencuri," perintah sang pemuda tegas.
"Sa-saya sudah menunggu selama empat ta-tahun, Mbah," jawab Raksasa gugup
"Namaku Arga, jangan memanggilku, Mbah," sela Arga walau sebenarnya, dia pantas dipanggil demikian. Sudah lama sekali sejak terakhir Arga menghitung umurnya. "Aku tidak memakai penyamaranku."
"Ba-baik, Ndoro Arga. Ndoro sudah tidur empat tahun, saya coba memanggil tapi Ndoro tidak bangun-bangun."
Arga terdiam. Ekspresinya langsung berubah datar, sebelum berteriak kencang membuat Timun dan Raksasa berjengit kaget. Semua masalah ini memang dimulai dari kebiasaan buruknya. Ingin sekali Arga menghantamkan kepalanya ke pohon terdekat, tapi kondisi memaksanya untuk tetap fokus. Apalagi sekarang ada orang yang memandangnya aneh.
"Baik," ucapnya lebih tenang. Kedua lawan bicaranya menatap Arga dengan tatapan takut kalau-kalau pemuda tampan itu kehilangan akal. "Ceritakan kelanjutannya, bagaimana bisa pusaka itu berada di tubuh Timun?"
Detak jantung gadis itu berlompatan ketika namanya disebut. Di dalam dirinya ada pusaka?
"Selagi menunggu Ndoro bangun, saya memohon pada kristal itu seorang teman dan tiba-tiba benda itu berubah menjadi sebuah timun berwarna emas yang besar. Ketika mendengar ada detak jantung di sana, saya membelahnya jadi dua dan menemukan seorang bayi. Dalam kepanikan, saya mencari seorang ibu yang bisa membesarkan dia." Raksasa itu mengarahkan mata merahnya pada Timun. "Pada saat itu saya teringat pada Mbok Sumi yang menginginkan anak. Jadi saya minta Mbok Sumi merawat kamu sampai cukup besar."
Arga menepuk dahinya kasar. Masalahnya ternyata sederhana. Kristal milik Prabu hanya mengabulkan keinginan seorang raksasa kesepian. Kesalahpahaman dan kemalasannya yang membuat segalanya rumit. Sekarang tugasnya untuk mengembalikan keadaan menjadi normal sekaligus menebus kesalahan. Untung saja, dia melihat darah merah yang mengalir dari luka raksasa sebelum menenggelamkan makhluk itu. Hanya manusia yang memiliki warna darah seperti itu, membuatnya merasa janggal dengan hal yang terjadi.
"Aku akan mengembalikan wujudmu ke semula, tapi untuk itu aku membutuhkan pusaka yang ada di dalam Timun." Dia menoleh dan Timun mendapati dirinya berhadapan dengan mata hitam yang menatapnya tajam, membuat detak jantungnya kembali berlarian. "Aku akan mengambilnya. Maaf."
Arga berpindah ke belakang Timun lalu memukul keras punggung gadis itu dengan telapak tangan, sambil mengerahkan sedikit kesaktiannya. Sebuah hentakan membuat serpihan berwarna hijau muda terlempar keluar dari dada. Timun merasa tubuhnya tiba-tiba lemas. Arga menahan kepalanya sebelum menyandarkan gadis itu pada sebatang pohon.
"Sisa kekuatan dari kristal akan cukup menghidupimu sampai kamu tua," jelas Arga tersenyum tipis sebelum mengambil benda yang berpendar lembut itu dari tanah, menggenggamnya erat agar tidak lagi terlepas.
Tinggal satu masalah lagi. Arga menatap Raksasa yang mengamatinya dalam diam. "Mengapa kamu sampai dikutuk?"
"Aku berusaha mengambil pusaka yang dimiliki oleh Ratu Pantai Selatan. Aku ketahuan dan dikutuk serta diasingkan ke gunung ini. Itu sudah bertahun-tahun lalu, aku menyadari kesalahanku dan tahu kalau kesombonganku yang menyebabkan aku seperti ini," cerita makhluk itu suram.
Arga menghela napas. Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, sama seperti dirinya. Dia mengangkat tangannya yang memegang kristal lalu membiarkan cahaya hijau lembut itu membesar hingga membungkus seluruh tubuh raksasa. Perlahan sinar itu menghilang dan alih-alih makhluk menyeramkan, sesosok pemuda berumur dua puluhan berdiri di sana. Wajahnya tampan dengan alis tebal dan mata besar yang ramah.
Dia tampak tidak percaya dengan keadaannya, mengamati tangan dan tubuhnya yang sepenuhnya manusia, memakai jarik dan celana serta sebuah hiasan emas melingkari kepalanya. Seketika Arga tahu kalau dia bukan orang biasa.
"Pangeran, huh?" tebaknya asal.
"Benar, Ndoro Arga. Saya adalah pangeran dari kerajaan Mataram." Dia menyatukan kedua telapak tangan di depan wajah sambil menunduk memberi hormat.
Arga menganguk paham sebelum menoleh ke arah Timun yang kini tertidur pulas. "Kembali ke kerajaanmu dan tebus kesalahanmu. Bawa dia serta ibunya, berikan mereka penghidupan yang layak."
"Baik, Ndoro."
Arga melempar senyum kecil sebelum menyentuh kaki Timun yang terkilir, memyembuhkannya sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali ke Bawanapraba.
_______________________________
Yay! Tinggal EPILOG!
Jujur aku agak khawatir kalo cerita ini kurang jelas. Gimana menurut kalian? Apakah cukup Twisted? Hahahahaha
Ini adalah ide yang kupikirkan bersama RedCherry98 XD awalnya mau dibikin raksasanya CEO lols cuma karena aku dah bikin cerita CEO jadinya kubatalkan :3 /ga gitu
See you next week di chapter pamungkas :D
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Timun Mas - Twisted Indonesian Folktales
FantasiWINNER OF THE WATTYS 2018 - [Fantasy 15+ | Contain Harsh Language] Seorang remaja harus bertanggung jawab atas sebuah janji yang diucapkan oleh sang ibu belasan tahun silam. Janji yang membuat nyawanya berada di ujung tanduk, berhadapan dengan raksa...