Chapter 5

29 15 3
                                    

Sebenarnya semua ini bukan rasa benci, melainkan hanya perasaan tentang kekecewaan Gea yang amat mendalam. Diabaikan, dan tidak dipedulikan sudah cukup membuat dia menutup pintu hati pada semua orang yang hanya masuk untuk menyakitinya saja. Itulah penyebab, karakternya berubah sejak ia terus saja di kecewakan oleh semua orang yang dia cintai. Kasih sayang yang dia dapatkan hanyalah perasaan semu belaka. Dia hidup seolah tidak ada yang mengharapkannya, itulah sebabnya dia sangat membenci takdir yang telah Tuhan berikan. Mengapa harus hidup jika semua orang tidak pernah menganggapnya ada?

Malam ini dan seperti malam sebelumnya, Gea duduk di balkon kamarnya sambil sesekali menarik napas panjang. Mendongak, jemari lentiknya mengusap wajah kusut yang tampak frustasi. Semua itu adalah rutinitas malam yang selalu Gea lakukan saat kesepian tiba-tiba membelenggu hatinya, ya, walaupun setiap hari pun sama. Entah, selalu saja ada perasaan kosong yang selalu hadir menemani harinya. Sejenis kosong mengerikan yang hanya datang saat hatinya terasa gelisah.

Angin berhembus menerpa kulit Gea. Dingin. Malam ini benar-benar dingin, namun gadis itu masih tak mau beranjak dari tempat nyamannya, walaupun langit yang semula cerah dengan gemerlap cahaya bintang, mendadak gelap pekat dan mulai menurunkan hujan. Rintik gerimis sedikit demi sedikit turun kebumi, Gea dengan semua kegelisahannya masih setia duduk ditepi balkon, namun perlahan tubuhnya menggigil kedinginan merasakan udara dingin yang bercampur dengan hujan sesekali mengenainya.

Dengan tubuh kedinginan tubuh Gea beringsut, melangkah masuk menuju kamarnya. Padahal, ia masih ingin sekali mencari menikmati pemandangan malam yang menurutnya indah. Tanpa diduga, pikiran Gea yang sejak tadi kosong, tiba-tiba menyelam pada kejadian tempo dulu yang membuat bekas lukanya masih terasa hingga sekarang.

⚫⚫⚫

"GEA, KENAPA KAMU MALAH NGAJAKIN KAKAK KAMU MAIN?" Suara nyaring itu tampak menggema dari ruang keluarga.

Dua gadis kecil yang sedang bermain itu tampak terkejut, tanpa sadar boneka barbie ditangan mereka jatuh. Mengabaikan hal itu, mereka mengalihkan perhatian pada Mama yang menuruni undakan tangga dengan terburu-buru.

Gea berdiri memberanikan dirinya menatap netra gelap Mamanya. "Tapi Ma, bukan Gea yang ngajakin kakak main." Gadis kecil berkuncir itu tampak mengelak membuat Mama kian menatapnya dengan tajam.

"Udah pinter boong ya sekarang!"

Gea mendongak menatap sang Mama dengan takut. "Gea gak boong Ma."

Karin yang berdiri disamping Gea pun angkat bicara, jemari kecilnya tampak menginterupsi agar sang adik bersembunyi dibalik punggungnya. Ini semua salah Karin, dia sudah lelah terus belajar dan saat melihat Gea yang nampak murung, jadilah dia mengajak adiknya itu bermain. Apa salahnya dengan semua itu?

"Gea gak salah Ma, yang ngajakin Gea main itu Karin." Akunya.

"Udah gak usah belain adik kamu. Dia emang bandel."

Bohong jika hatinya tidak merasa tercubit saat Mama kandungnya mengatakan seperti itu.

"Mama kenapa, sih, gak pernah percaya apa yang Gea bilang?"

Tangan Marisa yang tadi lunglai kini menarik telinga anak bungsunya dengan keras menyalurkan rasa marah yang entah mengapa selalu saja hinggap saat melihatnya. Gadis kecil itu meringis kesakitan menerima perlakuan kasar darinya. Tidak seperti Karin, Gea cenderung lemah dalam bidang akademik membuatnya selalu memuji sang kakak atas apa yang tidak bisa si bungsu lakukan.

Harapan yang sebenarnya sudah terlihat, Karin memang anak yang di butuhkan keluarga ini.

"Udah berani ngelawan kamu?!" Bentak Marisa.

Serendipity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang