Sudah seminggu ini cowok itu selalu membuatkanku bekal. Pokoknya, kalau bel jam istirahat sudah berbunyi, ia pasti segera datang dan memberikanku kotak bekalnya lalu berkata,
"Dimakan, ya. Nggak beracun, kok."
Lalu dia senyum dan pulang.
Sangat aneh, memang. Tapi yang aku herankan adalah, aku memakan bekal itu. Meski seluruh cewek di kelasku akan menyorakiku saat aku menyuap nasi dan lauk dari kotak berwarna biru itu.
"Qil, lo nggak takut diracunin?" Bella, sahabatku, bertanya. Ia duduk di sampingku sambil menyantap bekal miliknya sendiri.
Aku hanya mengendikkan bahu. Menutup mata saat menggigit udang goreng tepung yang renyah dan gurih. Dan lagi, bekal buatan cowok itu sangat enak. Sayang, kan, kalau tidak dimakan. Bella sepertinya tergiur. Aku yang peka, hanya menyodorkan kotak bekal itu ke arahnya.
"Wah, masakan mamanya Rafly emang enak, ya!"
"Bukan mamanya yang masak. Tapi dia sendiri," aku berkomentar cuek. Bella tidak percaya tapi tak kuhiraukan.
Isi kotak berwarna biru itu akhirnya kandas. Aku menyedot es teh yang tadi kubeli, seraya mengetik sms untuk seseorang.
To : Rafly
Makasih, ya. Bekalmu enak.
*send*
Dan entah kenapa, setelah pesan itu terkirim, hatiku menjadi lega.
.
Hal pemberian-bekal-setiap-jam-istirahat tetap berlanjut. Sampai di suatu siang yang mendung, di jam istirahat yang nyaris habis, bekal yang kutunggu tak kunjung datang. Awalnya memang agak risih, tapi kubiarkan. Toh, itu 'kan bukan suatu keharusan.
Tapi lama-lama aku penasaran. Jadi, malam ini aku memberanikan diri untuk menelpon Rafly, sekalian basa-basi menanyakan kabar, sebab dari yang kutahu, ia sudah tidak masuk seminggu.
"Halo?"
"Uh, halo, Raf. Apa kabar?"
Terdengar kekehan pelan di sana.
"Baik, kok. Lo sendiri?"
"Baik. Um, by the way, lo ada di mana? Katanya lo udah nggak masuk dari minggu lalu."
"Cie, kangen, ya?"
Aku menggeleng keras, meski tahu kalau Rafly tidak akan bisa melihat gerakanku. "Nggak."
Lalu, Rafly terkekeh lagi. "Gue di Aussie, ngurus ini-itu. Kan, gue mau kuliah di sini."
Aku bergeming. Mengabaikan rasa tidak rela yang menggelenyar aneh di dadaku. Aku lalu tersenyum, melanjutkan obrolan ini dan berusaha mengakhiri secepatnya.
.
6 bulan kemudian
Aku merapatkan hoodie biru yang kupakai hari ini. Paper bag yang kutenteng menambah kepercayan diriku untuk melangkah di bandara yang ramai. Di ujung sana, kulihat seseorang memakai baju kasual sedang melambai ke arahku. Aku tersenyum dan mendekatinya.
"Gue belum telat, kan?"
Rafly menggeleng seraya tersenyum. Matanya mencuri pandang ke arah tangan kiriku. "Apa tuh?"
"Oh?" Aku melirik paper bag yang kubawa. "Ini bekal. Dimakan, ya. Makanan bandara 'kan mahal."
"Cuma itu aja?"
"Hah?"
Rafly berdecak gemas. "Nggak mau ngomong apa gitu? Gue mau pergi loh ini. Mungkin baliknya setelah gue lulus."
Aku tersenyum tipis lalu menggeleng. Cowok yang rambutnya sedikit lebih panjang dari biasanya itu memasang wajah cemberut lalu berbalik. Sebelum ia melangkah lebih jauh, aku mengucapkan sesuatu yang membuatnya bergeming.
"Gue juga suka sama lo."
***
Hohoho ...