Aku kenal seseorang.
Yang selalu tersenyum ketika ditatap.
Yang selalu menyapa jika bertemu.
Yang selalu tertawa kalau ada gombal receh yang kuberi.
Sore itu, ia memesan coklat panas kesukaannya. Seperti biasa.
Ia memakai sweater hitam polos dengan jeans belelnya yang warnanya agak pudar.
Ia hanya membawa smartphone di genggamannya. Tak ada yang lain.
"Tumben nggak bawa novel?" Aku bertanya.
"Udah selesai dibaca. Belum nemu novel lain. Kamu ada saran?"
Aku tersenyum geli. Menunjukkan list buku di layar smartphoneku. Ada sekitar empatbelas judul, dengan genre yang berbeda-beda.
"Ini list baru, kan?"
Aku mendongak. Menatap mata kecoklatan miliknya. "Iya. Kenapa?"
"Kamu kurang kerjaan apa gimana sih? Ngapain bikin list baru kalo yang sebelumnya masih ada?"
Salah satu sisi yang lumayan aku suka, namun terkadang jengkel juga, adalah sisi ceplas-ceplosnya. Seperti tadi.
"Yah, sekalian riset. Kira-kira kamu suka genre apa. Ternyata kamu suka yang tentang filsafat atau tentang pertanyaan hidup gitu."
Dan dia tertawa.
"Aduh manis banget sih!" Serunya sambil menepuk tangan pelan. "Suka deh!"
Aku hanya terdiam. Tersenyum miring sambil menyeruput espresso yang barusan diantar.
Aku senang.
.
Pagi ini ia diam.
Pertanyaan basa-basi yang kulontarkan hanya dianggap angin lalu.
Ia melewatiku dengan santai saat berpapasan.
Aku kebingungan.
Aku tanya teman-temannya, katanya dia baik-baik saja.
Berarti dia hanya begitu padaku? Apa aku ada berbuat salah?
Baru kemarin sore kami bercanda. Baru kemarin sore kami berdiskusi tentang beberapa judul novel filsafat.
Hari ini aku membawa novel yang ingin dipinjamnya. Rencanya mau kuberikan saat jam istirahat.
Akhirnya kuputuskan untuk menaruhnya di lokernya saja. Untung aku masih ingat sandinya. Tanggal lahirku.
Kutaruh tumpukan kertas dengan hardcover biru itu di atas buku Fisikanya. Aku sedikit tersenyum. Fisika adalah pelajaran yang paling dibencinya. Tapi kenapa ia memgambil jurusan IPA, ya? Ah, sudahlah. Memikirkan dia membuatku lapar.
.
Keesokan harinya, buku itu ada di lokerku. Namun ada sebuah sticky note menempel di sampulnya. Tertulis sebuah pertanyaan, yang entah kenapa membuatku bingung.
'Bersama karena cinta itu tidak butuh alasan, kalau begitu, berpisah karena cinta juga tidak butuh alasan kan?'
Semenjak itu, aku tak pernah lagi bertemu dengannya.
***