Aku melirik jam tangan yang menunjukkan pukul delapan pagi. Sudah sepuluh menit aku menunggu dan pria itu belum datang juga. Kopi hitam yang kupesan juga sudah mulai mendingin. Jika lima menit lagi pria itu belum datang juga, maka kuputuskan untuk pergi saja.
"Uh, maaf aku terlambat datang. Macet."
Aku mendongak pelan lalu tersenyum tipis. Meredam kesal.
"Apa kabarmu?" Ia bertanya kasual seraya mengambil tempat di hadapanku. Matanya fokus melihat ke daftar menu di café yang sedang kami kunjungi ini.
"Pertanyaan lucu," aku menyahut sinis, "setelah semuanya terjadi, kamu masih bisa menanyakan hal basi macam tadi?"
Ia menatapku gugup. Senyum sedih ia ukir di bibirnya. Aku acuhkan saja. Kuhirup sedikit kopiku lalu menatap ke luar. "Apa maksudmu? Apa kamu menguntitku selama ini?"
"Bukan begitu. Aku hanya mendengar kabar kalau kamu baru saja bercerai, jadi--"
"Apa? Apa kamu datang untuk menertawaiku? Senang karena spekulasimu benar?"
"Dengar..."
"Kau pikir ini salah siapa?" Air mata mulai turun membasahi pipiku. Sedari tadi kutahan tangis ini, namun tetap saja tak bisa. "Kamu bertele-tele dan akhirnya aku telanjur dipinang orang yang sama sekali tidak kucintai. Salah siapa?"
"Maka dari itu..."
"Anakku sudah dua, kamu tahu. Apa yang akan kukatakan pada mereka?"
"..."
"Apa yang akan kukatakan pada orangtuaku di Indonesia sana?"
"..."
"Jawab aku."
"Kita menikah."
"Ya?"
"Kita menikah, secepatnya. Lalu kita pergi jauh. Berikan saja anakmu itu pada mantan suamimu. Kita menikah dan bahagia. Seperti janji kita dulu."
Aku membelalakkan mataku dan air mata makin deras mengalir. Namun ada satu hal yang aku herankan.
Aku mengangguk.
***
Emang. Semua tokoh di cerita ini gila semua.
Sama kayak saya :v