o6 - Kawan

23 5 1
                                    

Namanya Ragil. Namun sering dipanggil Rara oleh orang terdekatnya.

Bocah berambut sebahu itu berkali-kali memutar posisi tubuhnya. Sudah dua jam tapi matanya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan terpejam. Minum susu, menghitung domba, dan cara lain sudah dicobanya hanya agar ia bisa tidur.

Sinar bulan purnama menelusup masuk dari celah-celah gorden kamarnya. Entah panggilan dari mana, Rara bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju balkon. Kamarnya yang terletak di lantai atas membuat Rara dengan mudah dapat melihat pemandangan rumah tetangganya dengan leluasa.

Pandangannya terpaku pada halaman rumahnya. Tepatnya di sudut taman, dekat pagar. Ada seorang anak kecil sedang duduk tenang. Naluri anak enam tahun yang kesepian membuat Rara segera turun dan menghampiri anak tersebut.

"Kamu siapa?" Rara bertanya. Meski suaranya cukup nyaring, namun tetangganya pasti tidak akan mendengar, sebab Rara tinggal di perumahan elit. Di mana hampir di setiap rumah memiliki pagar tinggi dan halaman luas.

Anak itu mendongak. Rambutnya panjang sepunggung berwarna coklat kusam. Wajahnya pucat namun tersungging sebuah senyum di sana. "Aku Michelle. Kamu?"

Rara tersenyum senang, merasa mendapat teman baru. "Aku Rara. Kamu mau main sama aku?"

Michelle hanya menangguk lemah dan tak butuh waktu lama dua bocah perempuan itu segera masuk dan bermain bersama hingga pagi menjelang.

***

Rara sedih.

Hari ini orangtuanya tidak jadi pulang sebab ada pekerjaan mendadak. Bi Inem yang memberitahunya.

Tapi Michelle datang, jadi Rara tak terlalu memikirkan hal itu. Lagipula kalau orangtuanya datang, Rara toh diacuhkan juga. Jadi lebih baik Rara bermain bersama Michelle saja.

"Rumah kamu di mana, Michelle?" Rara bertanya seraya menyisir rambut bonekanya.

"Deket sini, kok," Michelle menjawab lemah. "Mau main ke rumahku?"

Rara mengangguk semangat. "Tapi aku ijin ke Mama sama Papa dulu, ya!"

Michelle hanya diam. Tak menggeleng atau pun mengangguk.

***

Pagi-pagi sekali, suara deru mobil membuat Rara dengan semangat membuka pintu depan dan menyambut kedatangan orangtuanya.

"Mama! Papa! Rara mau main ke rumah temen, boleh?"

Orangtua Rara hanya melewati anak semata wayangnya itu dengan menggenggam gadget masing-masing.

"Mama, Rara mau--"

"Sebentar, Rara. Mama lagi sibuk. Kamu liat sendiri, kan?"

Rara cemberut seraya menatap pilar rumahnya. Michelle berdiri di sana sambil tersenyum tipis. Melalui bahasa bibir, Michelle menyuruh Rara agar mencoba lagi. Rara mengangguk lalu masuk ke rumahnya.

Orangtuanya sibuk sendiri. Mamanya sedang mengumpulkan berkas-berkas, ayahnya sedang menelpon seseorang. Rara takut, namun ia nekat menarik-narik celana ayahnya yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.

"Pa, Rara mau main ke rumah temen Rara. Boleh?" Rara berkata pelan.

Merasa sangat terganggu, ayah Rara hanya menoleh sedikit seraya menangguk acuh. Rara bersorak senang yang dihadiahi pelototan oleh ayahnya. Akhirnya Rara beranjak menuju ibunya yang sudah selesai dengan berkasnya dan sekarang sedang menenteng tas jinjing besar.

"Rara, Mama sama Papa mau ke kantor lagi. Mungkin nanti malam baru pulang."

Rara mengangguk paham sementara ibunya sudah melaluinya dan bersiap pergi. Ayahnya sudah menunggu di mobil saat Rara bertanya, "Ma, Rara main ke rumah temen Rara, ya?"

"Iya, terserah."

Rara tersenyum lebar ke arah pilar, tempat Michelle yang dengan setianya masih berdiri di sana.

***

"Kenapa ke rumahmu harus diam-diam? Dan kenapa harus tengah malam?" Rara mengernyitkan keningnya.

Michelle hanya diam. Ia menunjuk ke arah balkon lalu berkata, "Kalau mau ke rumahku, kamu harus loncat dari situ."

"Memangnya rumahmu di mana? Kita bisa minta anterin Om Sule ke rumahmu kalau mau."

Michelle menggeleng. "Harus kayak gitu. Baru bisa ke rumahku."

Rara menimbang sebentar. Ia pernah melihat adegan lompat-melompat di kartun favoritnya. Dan mereka baik-baik saja setelah melakukannya. Jadi, Rara memutuskan untuk melakukannya.

Mereka lalu duduk bersisian di pagar balkon. Bersama-sama menghitung mundur untuk melompat bersama. Hitungan terakhir, mereka melompat dan terdengar bunyi 'brak' pelan.

"Wah, seru banget!" Rara bersorak lalu bangkit berdiri seraya merapikan celana tidurnya yang mencapai mata kaki.

Michelle mengangguk. "Iya. Sekarang kita ke rumahku, yuk. Deket sini kok. Tinggal jalan bentar."

Rara mengangguk seraya berjalan dengan riang di samping Michelle.

Sementara sepasang orangtua kaget saat sampai di rumah karena mendapati jasad anaknya terbujur kaku di halaman rumah.

***

HanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang