"Jujur saja, kau ada masalah apa?"
"Hah?"
Ia menghela napas. Giginya bergemelatukan seperti sedang menahan sesuatu. Aku jadi bingung.
"Apa yang kau bicarakan, sih?" Lalu aku tertawa. Menyedot es teh yang baru saja diantar pelayan. Dia pun mengikuti. Yah, kurasa dia sedang kesal. Lucu sih, wajahnya, jadi aku tertawa lagi.
"Aku tau," ia bergumam, aku mendongak menatapnya, "tapi aku hanya ingin kau jujur. Apa susahnya? Di matamu aku ini apa, sih? Selama ini kau menganggapku apa? Kotoran anjing?"
"Hei." Aku terkekeh. "Itu agak kasar, omong-omong."
"Kumohon--"
"Kau temanku." Senyum sedih kusunggingkan.
Ia menatapku seperti menatap layar televisi yang menayangkan musibah bencana alam yang memakan banyak korban. Ah, apa terlalu rumit?
"Kau tertawa sangat lebar tadi pagi. Kau bahkan sampai mengeluh sakit perut karena menertawai lelucon penjual bakso siang ini. Dan sekarang? Kau bahkan seperti orang gila, melamun sambil tertawa begitu."
"Aku--"
"Kenapa? Kenapa kau seperti ini? Tidak ada yang melarangmu untuk menunjukkan perasaanmu yang sesungguhnya."
"Aku hanya tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan yang lainnya. Termasuk kita."
Aku lalu beranjak pergi.
Oh, tentu, sebelumnya aku menghadiahi kasir dengan sebuah senyum lebar.