Aku ingat kebiasaannya mengerutkan kening saat berpikir.
Akan ada jeda beberapa saat, lalu senyumnya terkembang cerah. Seolah-olah ia baru saja memenangkan lotre. Padahal, guru sosiologi hanya bertanya pertanyaan sederhana padanya. Yah, setidaknya pertanyaan itu sederhana bagiku.
Aku dan dia sebenarnya sama sekali berbeda. Dia ekstrovert, dan aku kebalikannya. Makanya, aku selalu mengintilinya kemana pun ia pergi. Kecuali ke kamar mandi tentunya. Dan dia oke-oke saja dengan hal itu. Engh, dan sebenarnya aku senang dengan hal itu.
Dan dia tampan, tentu saja. Mata ungu tua--yang hanya bisa terlihat jika diberi cahaya terang--selalu menatap tajam menelisik. Rambut setengah ikalnya akan berantakan kalau sudah siang. Efek stres, ujarnya sambil bercanda. Hidungnya mancung dan runcing. Bibirnya sedikit pucat dan tipis. Rahangnya terlihat sangat kokoh. Oh, aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana harus menggambarkannya. Dan, hal ini membuatku menyukainya.
Sepanjang tujuh belas tahun hidupku, hanya dialah orang yang berpikiran paling positif. Ia selalu bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menimpanya. Hal ini membuatku makin menyukainya.
Tapi aku juga bingung.
Asal aku jalan berdua dengannya ke mana saja, pasti akan banyak yang melirik sinis, menatap tajam, atau bahkan terang-terangan mengejek. Memang apa salahku? Aku punya hak untuk menyukai orang lain. Mereka punya hak yang sama kok.
Apa karena aku laki-laki?
Lalu kenapa memangnya?
***
Cie.