Namaku Andi. Dan aku perempuan.
Bagi kalian mungkin aku ini aneh, tapi bagiku, aku ya biasa saja. Aku mendapat menstruasi pertamaku di umur empatbelas. Biasa saja.
Aku punya adik lelaki. Namanya Syahra. Dan dia agak tidak normal menurutku--di luar namanya yang memang aneh itu. Dia suka berbicara sendiri dan suka melawan kalau kunasehati. Biar begitu, Ibuk dan Bapak sangat menyayanginya. Anugrah Tuhan, kata mereka.
Kata teman-temanku di sekolah, aku ini anak yang baik. Tidak segan menolong, kecuali kalau sontekan. Aku sangat membenci orang yang suka menyontek. Mereka itu egois, tidak memikirkan orang lain yang benar-benar jujur mengerjakan sesuatu. Tapi aku menyadari kalau aku ini juga manusia, jadi hanya bisa mengingatkan. Sisanya ya terserah mereka.
Aku juga suka hujan. Apalagi di bulan Juni yang kemarau. Eh, tidak tahu, sih. Menurut tokoh di buku yang kubaca, bulan Juni itu kemarau. Kalau hujan turun, aku biasanya mengaduk kopi hitam kesukaan Bapak, lalu menyeruputnya perlahan sambil membaca buku biografi Kartini di ruang tamu. Omong-omong, aku kurang suka buku biografi, makanya sampai sekarang aku baru bisa menyelesaikan seperempat dari keseluruhannya.
Aku punya dua sahabat yang suka mengingatkanku agar tidak lupa meminum obat. Namun aku hanya tertawa saat mereka berkata seperti itu. Soalnya, aku bosan mendengarnya. Tapi mereka baik. Sangat mengerti aku luar-dalam.
Hari ini Ibuk masak enak. Syahra merayakan hari ulang tahunnya. Ada ayam goreng bumbu laos, sop ayam, dan sambal terasi. Semua makanan kesukaan Syahra. Aku terkikik pelan. Ibuk tidak pernah masak makanan kesukaanku. Atau mungkin Ibuk tidak tahu makanan kesukaanku.
Bapak yang kurang suka sambal terasi hanya meringis pelan. Takut Ibuk marah kalau makanannya dikomentari. Lagian betul juga. Ada makanan 'kan harus disyukuri.
Dua sahabatku yang hadir menatapku agak prihatin. Aku cuek. Mengabaikan rasa gatal yang mulai terasa saat aku mengunyah ayam goreng bumbu laos. Rasanya enak kok.
Setelah kami selesai makan, aku mulai membuka suara.
"Ibuk sama Bapak, kalau Andi mati nanti, Ibuk sama Bapak bagaimana?"
Dua sahabatku mendelik kaget. Sedang Ibuk dan Bapak hanya menoleh dan meringis. Ibuk diam, hanya Bapak yang menjawab.
"Ya ndak gimana-gimana tho, Nduk. Bapak sama Ibuk juga sudah ikhlas."
Aku hanya mengangguk paham. Decitan ranjang terdengar saat aku memejamkan mata. Dan yang terakhir kudengar adalah, teriakan tidak jelas memanggil namaku.
Andi.
***
Sekadar.