JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK KALIAN SETELAH MEMBACA BAB 1 MY MONSTER IN LONDON ^^
----
Ponsel di samping tempat tidurnya berbunyi nyaring. Nada dering dengan alunan musik piano klasik Chopin berjudul Spring Waltz. Nada dering favorit Sabrina. adiknya, Juna, pernah mengatainya si melankolis karena Sabrina beberapa kali pernah tertangkap sedang menangis karena alunan musik sendu Chopin. Dengan mata masih terpejam, tangannya meraba-raba permukaan kasur. Kelopak matanya terbuka berat dan dengan enggan dia menekan tombol terima.
"Sab, nanti kalau kamu mau ke kantor bawa ponselku, ya. Ponselnya ada di kamar. Tadi aku berangkat buru-buru sampai lupa bawa ponsel, sial!" Suara di seberang sana, tanpa basa-basi.
Sabrina menanggapi perkataan sahabatnya itu dengan menguap lebar dan mengerang halus. "Emmmm..."
Dasar pelupa. Batinnya.
"Jangan lupa bawa ponselku!" katanya menegaskan.
"Iya, Ras." Balasnya dengan suara serak seraya mematikan ponsel dan membanting ponsel itu kembali di sampingnya.
Sabrina duduk dengan mata mengantuk di tepi tempat tidurnya. Kedua bola matanya melirik ke arah kalender bergambar adiknya. Topi miring hitam menghiasi kepala Arjuna Jani—nama adik laki-laki Sabrina. Kalung rantai memanjang sampai ke dada, tangan dilipat ke dada dan memasang wajah songong layaknya bintang rap papan atas. Dia sangat terobsesi untuk menjadi rapper. Sekilas wajah Arjuna mirip dengan Eminem. Sabrina membayangkan adiknya berada di atas panggung. Ngerapp sambil menggerak-gerakkan tangan dengan diiringi teriakan anak muda yang berjingkat-jingkat.
Sabrina melenguh dengan senyum tipis geli yang menghiasi wajahnya di pagi akhir musim panas ini. Dia heran sekaligus bingung pada adik satu-satunya yang tinggal di Yogya—Indonesia. Adiknya selalu merasa bahwa dia adalah bintang rap terkenal di dunia. Juna—nama panggilannya. Sang adik mengirimkan kalender buatannya khusus untuk kakaknya dari Yogya ke London hanya untuk menunjukkan betapa cocoknya dia menjadi bintang rap.
Sabrina menyelipkan kedua kakinya ke selop berbulu berwarna krem dan berjalan menuju sudut dapur. Mengambil mug kesayangannya yang berwarna putih dan menakar serbuk kopi hitam dan air panas dari dispenser. Sabrina meletakkan mug kesayangannya di atas meja kayu panjang yang menghadap jendela. Membuka gorden berwarna putih dan duduk di depan komputer tuanya. Sabrina menyesap kopi hitamnya dengan pandangan mata yang tertuju ke arah jendela. Dari jendela dia bisa melihat kehidupan normal di pagi hari. Masih damai dan tenang. Masih terlalu pagi untuk berhambur keluar dari flatnya.
Sabrina. Gadis berambut sebahu dengan potongan bob mengembang. Berkulit kuning langsat. Memiliki bibir yang tidak terlalu tebal dengan bibir bagian atasnya yang lebih tipis dari bibir bagian bawah. Memiliki bulu alis yang hitam, tebal dan berantakan layaknya sebuah rimba hutan. Gadis Indonesia yang tujuh tahun lalu mengikuti program beasiswa dari pemerintah. Dan di luar dugaannya, dia berhasil lolos menyisihkan ratusan mahasiswa lainnya.
Sabrina Jani saat ini bekerja sebagai seorang ilustrator di sebuah penerbitan buku di London. Dia adalah seorang gadis penyuka seni, pengaggum lukisan Monalisa karya Leonardo Davinci, menyukai alunan musik klasik Chopin dan selalu merindukan tempat dia dilahirkan dan dibesarkan—Yogya. Sabrina bekerja sesuai dengan passion-nya, meski banyak orang yang mengatakan kalau desainnya tidak terlalu bagus tapi, toh, dia sudah lebih dari tiga tahun bekerja sebaga ilustartor di kantor penerbitan yang lumayan memiliki nama.
Sabrina kembali menyesap kopinya lalu menyalakan komputer tuanya. Mengecek surel dan membalas surel itu satu per satu. Surel dari orang-orang yang menggunakan jasanya. Dia belum mandi dan menyalakan komputer tuanya, mengecek surel dan menyesap kopi hitam adalah ritual paginya. Dan Sabrina sangat menikmati ritual ini. Orang bilang, saat kita memikirkan hal-hal positif di pagi hari, maka saat kita menjalankan rutinitas hal-hal positif akan menaungi. Sabrina merasa sangat positif saat dia melakukan ritual pagi hari seperti ini sebelum mandi. Meskipun mengecek surel lebih mudah melalui ponsel tapi Sabrina lebih suka berkomunikasi dengan kliennya dengan komputer tuanya yang selalu ada di atas meja panjang kayu eboni—yang dibelinya sejak dia pindah di flat ini bersama Laras.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Monster In London
RomanceRank #1 Mantan tanggal 22 februari 2019 Rank #4 Penulis tanggal 22 februari 2019 Rank #4 aktor tanggal 22 februari 2019 Adult romance 17+ Kasih komentar kalian setelah membaca ceritanya ya ^^ Jangan lupa untuk follow author ^^ Sabrina Jani, gadis in...