1. Versus

5.9K 430 89
                                    

Happy Reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading

“Gue nggak tahan. Gue capek ngadepin monster berandal macam Boruto. Setiap kali gue berada di dekat dia, gue selalu terseret ke dalam masalah. Gue nyerah!”

Tiba jam 7 pagi di sekolah bersama Chocho, Sarada sudah mengeluh pada sahabatnya itu. Mengingat kemarin hukumannya bersama Boruto untuk mencabuti rumput di halaman belakang sekolah.

Jika saja kemarin Boruto tidak mengacau di jam olahraga. Pria itu menganggu Sarada bermain bola voli bersama teman-temannya. Sehingga bola itu terlempar ke jendela kaca ruangan kepala sekolah, hingga pecah.

Harusnya hanya Boruto yang dihukun, namun kali ini Sarada juga kena imbasnya.

“Tapi kenapa, ya Sarada? Dia kayaknya suka banget gangguin lo. Padahal kalo dia mau, dia bisa aja ‘kan gangguin anak-anak lain yang lebih cakep daripada lo?”

“Maksudnya? Gue jelek, gitu?” Sarada mencebik. Mulut Chocho terkadang memang suka bicara seenaknya.

“Nggak jelek, sih. Cupu, iya.”

Wedus.”

Berjalan sambil bicara, tanpa terasa membawa Sarada dan Chocho tiba di kelas mereka, X IPA 1.

Dari luar kelas, Sarada sudah mendengar suara Boruto bernyanyi bersama dua teman yang selalu lengket padanya setiap hari, Inojin dan Shikadai.

Sarada melotot di gawang pintu, pun Chocho melakukan hal yang sama. Mereka melihat Boruto berdiri di atas meja guru seraya bergoyang pinggang dan memainkan kedua tangan. Dua temannya setia menjadi penonton bayaran demi menambah kegaduhan.

“Ayo semua nyanyi rame-rame! Baby shark, do-do-do-do! Baby shark, do-do-do-do! Baby shark, do-do-do-do! Baby Sha-rada?”

“Hah?” Sarada tersentak, mundur teratur, berlindung di balik dinding dari luar kelas. “Mati gue, Boruto ngeliat. Mending kabur aja.”

“Eits, mau ke mana?”

Belum sempat melangkah, kerah baju Sarada sudah ditarik dari belakang. Maniknya membola, ia menabrak dada Boruto.

“Enak banget lo nangkep gue?” keluh Sarada menggeliat hendak melepaskan diri.

“’Kan ada pepatah, ‘jodoh takkan lari kemana.’” Boruto menaik-turunkan alisnya dan mengulum senyum.

“Ogah gue jadi jodoh lo! Lepasin nggak!”

“Nggak mau,” sahut Boruto menggeleng. “Morning kiss dulu, baru lepas.”

“Mati aja lo!”

“Mami jangan galak-galak, dong. Papi tuh suka sakit loh dengernya.” Boruto membuat ekspresi seolah terluka. Sarada jijik melihat itu.

“Boruto!”

Bosan dengan keluhan Sarada, Boruto melepaskannya.

Sarada merapikan baju sekolahnya yang jadi berantakan karena ulah Boruto. Tak sedikitpun melepaskan sorot jengah terhadap pria itu seraya mendorong kacamatanya.

Sarada tidak habis pikir, kenapa ia bisa berakhir dengan Boruto dalam satu kelas yang sama. Kehidupan tentramnya yang dulu, sudah sirna semenjak tiga bulan yang lalu. Dimana ia bisa belajar dengan tentram dan tenang demi mendapat nilai tertinggi. Sarada memang terobsesi dari kecil untuk menjadi yang nomer satu.

Ayahnya, Uchiha Sasuke, memang terkenal jenius sejak pria itu masih muda. Beragam penghargaan telah diterima oleh pria itu hingga kini ia menjabat sebagai staf manager di sebuah perusahaan.

Sarada ingin sempurna seperti ayahnya. Ia ingin melewati batasan-batasan yang diciptakan Sasuke untuk menjadi yang nomer satu dimanapun, kapanpun.

Dan tujuan itu kini terhalang oleh Boruto. Salah satu murid paling berandal di sekolahnya. Bahkan para guru dan kepala sekolah sudah lelah menghadapi kelakuan anak tengil itu. Terutama tabiat buruk Boruto, gemar berkelahi.

Sarada pernah berpikir, kenapa pihak sekolah tidak mengeluarkan saja si Boruto dari sekolah? Kenapa anak seperti itu dipertahankan yang Sarada yakin, sesekali mencemari nama baik SMAN 1 Samarinda. Namun, hingga kini ia belum mendapatkan jawabannya.

Tuhan, kenapa takdir justru mempertemukan mereka?

Yang satu kutu buku yang kerjaannya selalu belajar, sementara yang satu lagi berandalan sepaket dengan hobi berkelahi dan malas sekolahnya.

Sarada sudah muak. Dia harus tetap fokus belajar.

“Minggir!” bentak Sarada, mendorong Boruto hingga menepi.

Semua murid di kelas cukup jadi penonton setia setiap hari jika si Sarada dan Boruto sudah terlibat satu sama lain. Tidak ingin mencampuri, sosok Boruto cukup ditakuti di sekolah itu mengingat predikatnya sebagai siswa berandal di sana.

“Minggir-minggir, istri gue mau lewat,” kata Boruto mengikuti Sarada dari belakang.

Sarada mendelik dan lekas membalik badan. “Lo!” Telunjuk Sarada di depan hidung Boruto. Pria itu biasa saja, acuh. “Jangan ngomong sembarangan, pe'a!”

“Ok.” Dengan begitu, Boruto cukup menggedik bahu dan mundur, kembali duduk di meja guru di depan kelas bersama Inojin dan Shikadai.

Tubuh Sarada kembali rileks. Agak aneh, Boruto sedikit jinak hari ini. Takut-takut anak tengil itu sudah merencanakan sesuatu. Biasa terjadi mengingat Sarada selalu menjadi korban kejahilannya.

Sarada duduk di bangku di barisan paling depan, nomer dua dari pintu. Berusaha untuk mengabaikan Boruto yang terkikik bersama teman-temannya.

Jujur saja jika sudah begitu, Sarada selalu merasa ada yang tidak beres akan terjadi.

Gadis itu duduk dan mengambil buku Matematika di dalam tas. Beberapa alat tulisnya yang lain pun telah siap menemaninya untuk belajar. Padahal jam pertama belum dimulai, Sarada memiliki kebiasaan untuk terus belajar dimanapun, kapanpun.

Beberapa kali asik mencoret di atas kertas, Sarada mendengar suara berisik dari dalam laci mejanya. Seperti ada yang bergerak. Penasaran, Sarada merunduk untuk melihatnya.

Suaranya semakin liar. ‘Gresek, gresek, gresek.’ Ada toples kaca di dalam lacinya. Sarada menarik ke luar toples itu. Kelabang sepanjang sepuluh centi meter menggeliat di sana.

1, 2, 3.

“Kyaaaaaaaaa!”

Mata Sarada terbelak. Ia melempar toples itu sembarang arah.

Sarada, termasuk para anak perempuan di kelas itu berteriak. Boruto melakukan ‘tos’ bersama dua rekannya dan tertawa.

“Udah gue bilang, ‘kan? Nggak sampe lima detik, dia udah teriak.” Boruto tertawa bangga. “Sini, goceng-goceng.”

Shikadai dan Inojin mencebik. Ketakutan Sarada mereka jadikan bahan taruhan. Melupakan fakta bahwa seisi kelas kini sudah kelewat gaduh. Beberapa anak lelaki mulai meneriaki Boruto.

“Woi! Toplesnya pecah, tuh! Kelabangnya kabur, Anjay!”

Shikadai dan Inojin buru-buru menangkap sang kelabang yang berlari di sela-sela meja dan kursi. Itu hewan peliharaan Inojin yang paling ia sayangi. Boruto tertawa semakin keras, wajah Sarada memerah tampak akan meledak.

Lalu, Sarada melepas sebelah sepatunya dan melemparnya tepat mendarat di kepala Boruto.

“Aduh! Sakit, shit!” umpat Boruto dan matanya mencalang marah.

Itu membuat Sarada tercenung dan tersadar. “Gue harus kabur dari amukan monster.” Dan berlari kencang keluar kelas, mengabaikan teriakan Boruto yang memakinya.

“Gue balas lo ntar, Cupu!”

...

To Be Continued
AN : Berantem aja dulu, yeiy 😄

My Trouble is BorutoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang