Boruto hanya banyak diam saat Naruto datang ke kantor polisi untuk menyelesaikan masalahnya. Dengan kuasa dan beberapa lembar uang, Boruto dan teman-temannya telah bebas dari jeratan polisi. Tidak seberapa bagi Naruto jumlah uang yang harus ia keluarkan untuk mengurus masalah ini, termasuk membiayai anak-anak yang telah Boruto buat babak belur. Namun, rasa malu dan kecewanya pada Boruto melebihi kerugian itu.
"Kita harus bicara." Naruto menghentikan Boruto yang ingin pergi secepat mungkin dari kantor polisi. Sementara Shikadai lebih dulu pulang bersama ayahnya.
"Jangan lo pikir karena lo udah bebasin gue dari para polisi, terus gue harus berterima kasih sama lo." Boruto memunggungi Naruto sembari berkata ketus.
"Papa nggak minta kamu untuk berterima kasih. Papa cuma ingin kamu dengerin apa kata-kata Papa."
"Cih! Dengerin?" tawa remeh Boruto sambil berbalik menghadap Naruto. "Lo mau gue dengerin lo?"
Cerca Boruto membuat Naruto harus menarik napasnya dengan berat. Rasa bersalah merongrong dirinya setiap kali Boruto memberi tatapan benci itu kepadanya.
"Dari dulu ke mana aja?" sambung Boruto sedikit membentak. "Sebagai orangtua, lo ke mana aja saat anak-anak lo butuh perhatian dari seorang ayah?"
Naruto terdiam.
"Saat istri lo terbaring lemah di rumah karena penyakitnya, lo ke mana aja sebagai seorang suami? Seneng-seneng sama perempuan lain? Ngelantarin keluarga?"
Kali ini Naruto benar-benar tidak bisa menjawab perkataan Boruto.
"Terus sekarang lo mau gue dengerin orangtua brengsek kayak lo, hah?" bentak Boruto dengan kasarnya.
"Jaga omongan kamu, Boruto!" Emosi Naruto terpancing. Ia membalas Boruto sama lantangnya. "Kenapa kamu berubah jadi anak berandalan seperti ini?"
"Mau tahu kenapa? Itu semua karena Papa gue orang brengsek!"
Makin keras saja suara Boruto, mengundang perhatian orang-orang di sekitar halaman depan kantor polisi.
Naruto menghela napas. "Oke, ini semua memang salah Papa. Sekarang kamu tenang dulu, Boruto. Kita bicarakan ini di tempat lain."
"Nggak!" Boruto menepis cepat saat Naruto berusaha menarik lengannya. "Nggak usah ikut campur urusan gue lagi!"
Buru-buru kaki Boruto meninggalkan tempat itu. Ke mana saja, asal Boruto tidak melihat wajah orang yang paling ia benci di dunia ini terus berusaha mendekat padanya. Penolakan demi penolakan sudah sering Naruto rasakan dan semuanya selalu berhasil melukai hatinya.
Boruto hanya tidak tahu bahwa Naruto sangat mencintai putra satu-satunya itu melebihi nyawanya sendiri. Kesalahan di masa lalu telah membuka mata Naruto dari gelapnya jurang kehidupan. Ia bersumpah tak akan lagi mengkhianati keluarga.
Walaupun sulit, walaupun sakit, ia akan berjuang untuk mendapatkan cinta anaknya lagi. Sebab Naruto yakin, sebenci-bencinya Boruto padanya, pemuda itu pasti masih punya sedikit cinta untuk sang ayah.
Dari jauh, Naruto sedikit berteriak dan hal itu berhasil membuat Boruto berhenti melangkah.
"Kamu boleh benci sama Papa, tapi Papa mohon sama kamu. Tolong pikirkan Himawari, apa jadinya kalau adik kamu tahu apa yang telah kamu lakukan."
Ucapan Naruto sempat membuat Boruto merenung sebentar. Kemudian ia benar-benar pergi dan menelepon seorang teman untuk menjemputnya.
…o0o…
Dari banyaknya teman, kenapa harus Sumire yang Boruto hubungi? Sumire sendiri bertanya-tanya mengapa. Dan akhirnya, mereka malah berada di sebuah taman yang memiliki danau luas. Tentu tempat yang sangat Sumire ingat. Tempat yang menyimpan banyak kenangan bersama Boruto saat mereka masih pacaran dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Trouble is Boruto
FanfictionSarada selalu terobsesi untuk mendapat peringkat satu di sekolahnya ketika ujian. Hingga suatu waktu, saat penerimaan siswa baru di SMA, ada satu nama yang menggeser posisi Sarada hingga ke peringkat dua. Sarada kesal dan semakin berambisi untuk men...