14. Jangan Marah

3.7K 303 111
                                    

A/N : Ada yg spesial dari chapter ini. Soalnya temen kita ameri-Cahn udah gambarin fanart untuk salah satu moment BoruSara di chapter ini. Makasih ya udah mau gambarin 😊😊 FanArtnya gemesin kek dede Sarada 😍😍

Jangan ragu buat vote & comment juga dan makasih karena setia baca ff ini 😊

HAPPY READING
Happy Weekend ❤

~

~

~

Boruto tampak kewalahan meladeni Sumire yang ingin berbincang lama dengan dirinya. Dalam hati Boruto hanya ingin mengejar Sarada saat ini. Pacarnya itu pasti marah. Dan Boruto tidak punya banyak trik untuk membuat Sarada tidak ngambek lagi.

"Aku senang bisa ketemu kamu lagi." Sumire tak berhenti tersenyum ketika mendapati Boruto tinggal untuk mengobrol dengannya.

"Iya." Hanya rasa canggung yang Boruto rasa sekarang. Tidak seperti saat mereka pacaran dulu. Rasanya Boruto ingin cepat-cepat pergi dan menyusul Sarada saja. "Anu, Sumire—"

"Kamu nggak mau nanya aku tinggal di mana sekarang?" sela Sumire.

"Oh, iya. Tinggal dimana emang? Kamu pindah ke Samarinda lagi atau cuma sebentar di sini?"

"Rencananya aku menetap di sini sama Kakek, karena aku nggak punya siapa-siapa lagi di Jakarta." Tepat pada kalimat terakhir Sumire, ada makna tersirat yang mengingatkannya pada insiden lima bulan lalu begitu mengubah hidupnya dalam kehampaan. "Ayah sama Bunda sudah meninggal, Boruto."

"A-apa? Meninggal?" Boruto terkejut yang hanya dibalas senyum lirih Sumire. "Kenapa kamu nggak pernah kasih kabar?"

"Maaf, aku nggak punya keberanian hubungin kamu karena dulu pernah ninggalin kamu tanpa pamit."

"Astaga," ujar Boruto sembari menghela napas, "aku turut berduka cita, ya. Kalau aja kamu kabarin aku, pasti aku bakal melayat ke pemakaman orangtua kamu. Tapi, kamu nggak pa-pa?"

Pertanyaan Boruto mengundang Sumire menarik sudut-sudut bibirnya ke atas. Itulah si Boruto—tak pernah berubah untuk selalu mengkhawatirkan keadaan Sumire. Hal yang membuat Sumire jatuh hati pada pemuda itu sejak lama. Dan dengan bodohnya ia sia-siakan ketika justru Boruto telah menjadi miliknya.

"Aku nggak pa-pa. Ini semua takdir Tuhan yang harus aku jalani. Mungkin, Tuhan punya rencana terbaiknya buat aku."

Boruto menepuk pelan lengan Sumire. "Kamu yang sabar, ya."

"Hm," angguk Sumire, "kamu gimana? Masih nggak mau tinggal serumah sama Om Naruto?"

Boruto mengerling dan menghela napas lelah lagi. "Udahlah! Nggak usah bahas orang tua itu."

Niat awal Boruto yang ingin cepat menyusul Sarada terkikis ketika Sumire mulai membahas kematian orangtuanya lima bulan yang lalu. Boruto sampai tak menyadari bahwa jauh di belakangnya ada keributan terjadi. Ketika tamu lain mulai mendekat ke sumber keributan, Boruto tersadar.

"Kayaknya ada yang berantem, deh!" kata Sumire.

Pirasat Boruto jadi tidak enak. Tanpa menunggu, Boruto berlari mendekat. Melihat tangan asing merangkul pinggang Sarada seenaknya. Lalu, datang satu pemuda lagi membantu Sarada. Dan pacarnya bersembunyi di balik pungggung cowok itu dengan raut ketakutan. Boruto marah. Ia berlari sekencang mungkin tanpa peduli siapa yang ia tabrak.

My Trouble is BorutoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang