Malamnya, pukul 08.45, di kamar asrama nomor 70.
"Al, kau yakin dengan semua ini?" tanya Stella untuk yang kesekian kalinya padaku.
"Iya, kau tahu ini melanggar peraturan. Dan lagi, kau belum punya rencana yang matang. Bagaimana kalau tertangkap?" tambah Aria.
Aneh, padahal tadi mereka setuju dengan rencanaku. Tapi kok, sekarang kesannya seperti tidak rela kalau aku pergi ke ruang penyimpanan itu?
"Aku yakin, tenang saja. Kalau tertangkap tidak apa-apa. Aku juga sudah menguasai sihir untuk terbang. Jadi doakan aku tidak tertangkap menyusup."
"Penjagaan di sini ketat lho. Mustahil kamu tidak tertangkap. Dan lagi, kenapa juga kita tidak boleh keluar kamar? Apa hubungannya?" ucap Stella frustasi. Sedangkan Aria, seperti biasa, hanya menyimak. Dia hanya akan berbicara jika perlu.
"Dengan begitu yang lain akan mengira kita bertiga bersama di kamar. Tidak ada yang akan tahu aku melanggar jam malam. Aku akan keluar lewat jendela."
"Ya sudah deh, aku sudah memperingatkanmu. Aku baru tau kamu keras kepala, Al." Stella tampak pasrah.
Aku sedang menyiapkan beberapa peralatan untuk pergi ke ruang penyimpanan rahasia, seperti senter, tali, kalung, buku perpustakaan, dan air minum. Juga beberapa barang lain yang mungkin kubutuhkan. Aku mengamati peta yang sudah kusalin dari kertas sihir. Sengaja kusalin karena takut kertas sihir itu akan kembali kosong seperti sediakala.
Menurut peta, ruang itu terletak di lantai 8 bangunan utama. Padahal setauku bangunan utama hanya 7 lantai. Ada jalan masuk yang berbeda dari yang biasa kulewati. Mungkin saja itu jalan rahasia. Lalu ada lorong yang sangat panjang, dan di depan lorong ada lorong yang becabang-cabang, kemudian ada sebuah pintu lagi. Di belakang pintu ada ruangan kecil dengan tanda silang warna merah.
Itu pasti tempat penyimpanan, pikirku.
"Al, para elf sudah mulai patroli. Diluar asrama sudah sepi. Sebaiknya kau bersiap," peringat Stella.
"Ya, aku sudah membawa semua yang kuperlukan, tinggal menunggu waktu. Jasmine sudah siap?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Peri kecilku itu memaksa ikut denganku.
"Sudah. Aku akan keluar melihat keadaan. Kalau keadaannya aman, kita langsung pergi saja," katanya.
Aku membukakan jendela untuk Jasmine, dia segera melesat ke bawah. Tak berapa lama, dia kembali. "Al, lebih baik kita pergi sekarang. Mumpung beberapa dari elf itu belum berpatroli. Lebih mudah untuk pergi ke bangunan utama."
Langsung saja aku melompat ke bawah lewat jendela. Aku tidak jatuh, karena aku segera mengeluarkan sihir anginku. Aku mengulaskan senyum tipis, kemampuanku berkembang sangat cepat. Ini karena semenjak petang aku berlatih di dalam kamar. Dengan dukungan kedua temanku tentunya.
Aku terbang sekitar setengah meter dari permukaan tanah, lebih praktis dibandingkan berjalan. Beberapa kali Jasmine menyuruhku menepi ataupun bersembunyi ketika mendengar suara langkah kaki elf. Tak terasa aku sudah sampai di bangunan utama. Jasmine mengeluarkan peta dan senter dari tas ranselku. Bangunan utama sangat gelap, hanya ada pencahayaan yang sangat minim.
Kakiku melangkah memasuki bangunan utama, lalu terbang kembali karena suara langkah kakiku terdengar jelas dan bergema. Aku terbang menaiki tangga sampai lantai ke tujuh dan menjelajahi lorong yang lenggang.
"Al, disini seharusnya ada tangga ke lantai delapan. Tapi disini tidak ada apa-apa. Tidak ada keterangan juga di peta ini," ujar Jasmine.
"Kau yakin? Sini, berikan petanya." Aku mengamati peta itu, aku yakin berada di tempat yang benar. Tapi kenapa tidak ada tangga sedangkan di peta ada gambar tangga ke lantai 8? "Ayo, kita cari petunjuk. Aku yakin tangga itu tersembunyi di balik dinding ini. Pasti ada semacam tombol seperti di film."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alicia in the School of Magic
Fantasy[Fantasy-Adventure] [HIATUS] Surat misterius itu diletakkan begitu saja di depan rumahmu. Dikirimkan bersama dengan sebuah kalung untukmu. Rasa penasaran yang kian memuncak membuatmu buta. Tanpa berpikir panjang, kau memakainya. Membawamu ke sebuah...