Chapter Four

42 5 0
                                    

"Minggu depan kita lanjutkan lagi latihannya. Sekarang kalian boleh pulang."

Setelah Pak Ando berbalik, para anggota ekskul basket langsung bangkit dari duduk mereka dan berjalan untuk mengambil tas mereka dan membersihkan diri.

Deva meraih botol minumnya yang terletak di sebelah tas, dengan Alvi mengikuti di belakang. Keduanya terduduk di pinggir lapangan sambil menikmati semilir angin sore yang berhembus.

"Eh Vi, jadwal ekskul basket cewek kapan sih? Kok gue nggak pernah ngeliat ya?" tanya Deva tiba-tiba.

"Mereka hari Selasa, Kamis, sama Sabtu. Tapi mereka di lapangan indoor," jawab Alvi.

"Lah, berarti hari ini juga ada dong? Kok gue nggak pernah ngeliat ya pas mereka udah selesai latihan gitu?"

"Ya karena lo emang nggak pernah merhatiin," jawab Alvi jengkel. "Emang napa sih? Kecengan lo sekarang anak basket cewek?"

Deva terdiam, tidak menyahut. Dia malah sibuk dengan pikirannya sendiri. "Hmm, berarti Alivia hari ini latihan dong?"

"Lah ngapain lu mikirin Alivia?" tanya Alvi heran. "Oh atau lo sekarang ngecengin dia lagi?"

Deva terkejut karena Alvi mendengar perkataannya. Dia menjitak kepala temannya itu sambil berkata dengan jengkel. "Kepo amat dah lu jadi orang."

Selain judes, Alvi orangnya juga nggak pedulian. Tapi kalau soal hubungan percintaan teman-temannya, Alvi adalah orang yang paling kepo. Entah kenapa selalu begitu.

"Ya kenapa coba lo kepikiran soal dia? Tumben-tumbenan," ujar Alvi heran.

"Beberapa hari yang lalu gue nganterin dia pulang," kata Deva dengan suara agak pelan.

Alvi langsung menghentikan langkahnya. "Serius?"

Deva mengangguk. "Iye. Itu juga dia ogah-ogahan gitu pertamanya. Tapi akhirnya dia nurut juga."

"Kok bisa?" tanya Alvi. Mereka kembali berjalan lagi menuju ruang ganti.

"Waktu itu gue ketemu dia di halte. Waktu lo semua pada nggak mau nungguin gue boker itu lho," Deva menyindir, "yaudah terus gue samperin dia."

"Terus?"

"Ya gue ajakin pulang."

"Terus dia mau gitu aja?"

"Ya kagaklah," jawab Deva. "Emang lo kira segampang itu ngajakin dia?"

"Yaa manatau kan," ujar Alvi sambil mengangkat bahu. "Terus di motor lo berdua ngomongin apa aja?"

"Ya gak ada," jawab Deva sambil membuka pintu ruang ganti. "Diem aja. Lagian waktu itu lagi hujan, jadi gue fokus bawa motor."

Alvi mengangguk-anggukkan kepala mengerti. "Kapan lo mau minta maaf sama dia?"

Deva terdiam beberapa detik, lalu menggelengkan kepala. "Gak tau."

"Mck. Lo ini," Alvi melirik Deva kesal. "Sampe kapan lo mau biarin dia bertanya-tanya soal alasan lo ninggalin dia? Udah setahun Dev, setahun."

"Iya gue tau udah setahun," Deva menyela. "Tapi gue gak tau gimana cara ngomongnya. Masa gue tiba-tiba dateng nyamperin dia terus bilang 'sori ya waktu itu gue ninggalin lo karena blablabla' gitu?"

Alvi tidak menjawab. Dia memutar bola matanya, kesal dengan sikap temannya itu.

***

"Gue balik duluan ya Liv. Daah!"

Livi melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah temannya yang hendak pulang. Lalu dia berbalik dan berjalan menuju parkiran sekolah. Langit pukul 5 sore hari itu agak gelap, pertanda hujan akan turun. Livi mempercepat langkahnya agar sampai di parkiran. Saat dia akan menyalakan motornya, matanya tidak sengaja melihat Deva dan seorang temannya berjalan ke arah parkiran. Livi buru-buru menaiki motor dan mengambil helm. Saking buru-burunya, tanpa sengaja Livi justru menjatuhkan helm yang ada ditangannya.

Bodoh, umpat Livi dalam hati. Livi buru-buru mengambil helmnya dan memakaikannya ke kepala dengan cepat. Sebelum Livi sempat menyalakan mesin motor, Deva sudah berdiri di dekatnya.

"Pulang sendiri?" tanya Deva. Livi berdecak kesal.

"Lo liat emangnya ada orang lain di belakang gue?" Livi membalas ketus. "Minggir, gue mau pulang."

"Gue gak ngehalangin motor lo kok. Nih masih luas," kata Deva sambil melebarkan tangannya ke kanan, seolah-olah mengukur jarak.

Livi memutar bola matanya. Dia menyalakan motornya, lalu meninggalkan Deva yang terdiam memandanginya.

***

"Gue gak tau harus mulainya kayak gimana. Setiap gue ngomong sama dia, gue pasti canggung. Kata-kata yang mau gue ucapin ke dia tiba-tiba hilang. Dan gue jadi gugup gak jelas gituuu."

Alvi berdecak. "Lo tuh ya tampang aja yang sangar. Kalo udah urusan cewek, cemennya bukan main. Sok-sok mainin cewek lagi."

"Diih siapa juga yang mainin?" tanya Deva tidak terima. "Gue kan cuman menerima ajakan mereka. Mereka ngajak jalan, yaudah hayuk. Yaa meskipun gue yang jadi sopirnya sih."

"Itu namanya bego," Alvi menjitak kepala Deva. Gemas melihat tingkah temannya satu itu. "Gue laper nih. Yang lain lagi pada di rumahnya gak?"

"Mana gue tau," jawab Deva. Dia meraih stik PS-nya lalu mulai melanjutkan permainan yang sempat tertunda. "Gue mau di rumah aja. Kalo lo mau keluar sama yang lain yaudah. Tapi gue nitip makanan ya."

"Emang lo kira gue babu?" gerutu Alvi sambil meraih ponselnya yang terletak di atas meja belajar Deva. Namun perhatian Alvi teralihkan kala melihat sebuah buku dengan huruf A besar di depannya.

"Dev, itu buku siapa?" tanya Alvi.

"Buku apa?" tanya Deva balik. Dia tidak menolehkan kepala karena sibuk bermain.

"Buku yang ada huruf A-nya," jawab Alvi. "Bukan punya lo kan? Nama lo aja dari huruf D."

"Ooh." Deva hanya menjawab seperti itu. Alvi menunggu jawaban Deva selanjutnya, namun cowok berambut acak-acakan itu hanya fokus pada permainannya. Tidak mempedulikan temannya yang penasaran akan buku tersebut.

"Woi kutu dugong!" Alvi berseru kesal sambil melemparkan kaus kakinya ke arah Deva. "Gue nanya kenapa gak lo jawab?"

"Emang kenapa siiih?" tanya Deva kesal. "Kalo gue gak jawab apa-apa berarti bukan urusan lo. Nanti juga gue kasih tau kan. Udah sana keluar aja lo."

Untuk kesekian kalinya, Alvi berdecak. Dia mengambil ponsel dan kunci motornya, lalu keluar dari kamar Deva tanpa sepatah katapun.

Beberapa menit setelah Alvi pergi, Deva menghentikan permainannya. Dia terdiam selama beberapa saat lalu berjalan menuju meja belajarnya. Matanya memperhatikan buku itu. Semacam scrapbook, berwarna coklat dengan huruf A besar di depannya.

Deva membuka halaman tengah buku itu. Ada sebuah foto yang menampilkan remaja laki-laki dan perempuan dengan seragam SMA. Dibawah foto itu terdapat sebuah kalimat.

I wish I knew you earlier.

Deva membaca kalimat kedua yang ada di bawah kalimat pertama yang dipisahkan dengan sebuah garis. Tulisannya sedikit acak-acakan. Ada sedikit bercak darah disekitar kalimat itu.

I wish I never know you.

***

Haiii semuanya! Maaf ya kalo update-nya lama. Maaf ya membuat kalian menunggu. Maaf ya kalo part ini kurang memuaskan. Maaf ya kalo part ini pendek. I'm trying my best to recreate this story better than before. Doain aja semoga berhasil yaa!

Bloodstream-Ed Sheeran

One and Only (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang