Chapter Eleven

14 1 0
                                    

Jam istirahat kali ini Livi habiskan dengan berada di dalam kelas. Dia bersandar pada dinding kelas dan meluruskan kedua kakinya di atas kursi Amira. Telinganya disumpal dengan earphone yang sedang memainkan lagu Bring Me The Horizon yang berjudul Throne.

Livi sedang asyik menggulirkan timeline instagram-nya ketika Deva datang menghampirinya.

"Lo nggak turun?" tanya Deva. Dia tahu Livi dapat mendengarnya karena gadis itu memang dapat mendengar panggilan orang meskipun dia sedang menggunakan earphone sekalipun.

"Nggak," Livi menjawab tanpa menatap Deva sama sekali. "Lo kenapa gak turun?"

"Gue kan mau cerita sama lo," jawab Deva yang disambut dengan kerutan di kening Livi. "Masa lo lupa sih? Kan lo yang mau."

Livi menekan tombol pause dan melepas sebelah earphone-nya. Dia terdiam sejenak, berusaha mengingat sesuatu. "Ooh, iya iya."

Deva tersenyum. "Gue boleh duduk kan?"

Meskipun tidak ingin posisi enaknya ini diganggu, tapi Livi mengangguk. Dia menurunkan kedua kakinya dan melepas earphone yang satunya. Deva pun duduk di sebelahnya.

"Adrian ngomog apa aja kemarin?" tanya Livi to the point.

Deva berdeham. Dia menyerongkan badannya sedikit ke arah Livi. "Dia bilang dia pengen tau alasan kenapa lo ninggalin dia."

"Terus?"

"Yaa terus gue bilang kalo lo punya hak buat nggak ngasih tau dia apa alasannya. Farhan juga bilang ke Adrian kalo dia sebenernya cuman mau tau apa alasan lo ninggalin dia, bukan karena dia masih ada perasaan sama lo atau nggak."

Livi terdiam sejenak. "Emangnya dia suka sama gue ya waktu itu?"

"Nah itu dia," jawab Deva. "Terus ya gue bilang aja kalo cowok kayak dia itu gak mungkin bisa serius sama satu cewek aja."

"Terus dia bilang apa?"

"Dia bilang kalo dia sama kayak gue," jawab Deva.

Livi mengerutkan kening. "Sama? Sama gimana?"

Kali ini Deva menjawab lebih lambat. "Yaa karena kita berdua punya banyak mantan, makanya dia bilang kalo gue sama kayak dia."

Deva merasa sangat canggung mengatakan hal itu, entah kenapa. Dia seperti merasa tidak enak pada Livi karena membahas tentang banyaknya mantan yang dia miliki. Oke, Livi memang tahu seberapa playboy-nya Deva. Tapi sejak hubungan mereka berakhir? Ada banyak yang Livi tidak tahu.

"Terus lo ngomong apa sama dia sampe-sampe dia mau jauhin gue?" tanya Livi.

Nah, ini dia.

"Ehm kalo soal itu ..." Deva mengusap belakang kepalanya, gugup. "Gue bilang aja kalo gue deket sama lo."

Mata Livi langsung membulat. "Hah?"

"Iya," ujar Deva. "Gue bilang kalo gue mau mulai deket sama lo lagi. Terus gue bilang aja kalo gue udah ada niat mau pacaran sama lo. Jadi mending dia mundur aja deh dari pada bersaing sama gue."

Livi menatap Deva dengan tatapan tidak percaya. Tidak terlintas di pikiran Livi sama sekali Deva akan mengatakan hal itu pada Adrian.

"Terus dengan mudahnya Adrian mundur gitu aja?" tanya Livi masih tidak percaya.

"Iya," jawab Deva. "Lo tau gak sih sebenarnya nggak ada yang mau saingan sama gue kalo soal cewek? Ini serius ya. Gue bilang kayak gini bukan karena gue kepedean."

"Masa sih?" Livi tidak percaya. "Emang kenapa kalo saingan sama lo?"

"Ya gue gak tau," jawab Deva sambil memutar tubuhnya ke depan. Lalu melanjutkan kalimatnya sambil tersenyum jahil. "Mungkin karena kalah ganteng sama gue."

"Dih, najis," ujar Livi dengan tampang jijik. Sedangkan Deva tertawa terbahak-bahak.

"Eh lo gak mau ke kantin nih?" tanya Deva setelah tawanya mereda.

"Nggak. Gue nggak laper," jawab Livi sambil kembali memasang kedua earphone-nya dan menekan tombol play. "Lo turun aja."

"Nggak ah," ujar Deva. "Gue juga nggak laper."

"Yee ngikut-ikut aja lo Stipen," cibir Livi.

"Yee suka-suka gue," balas Deva. Dengan santai Deva menarik earphone sebelah kanan Livi dan menyumpalnya ke telinganya. "Buset dah Liv, selera lo makin lama makin buat gue pusing."

Livi berdecak. Namun dia tidak protes sama sekali karena Deva menarik earphone-nya sesukanya. "Banyak komen lo."

"Wanjir liriknya dalem banget," Deva terus mengoceh tanpa mempedulikan omelan Livi. "Gue tau sih lagu-lagu genre kayak gini liriknya emang lebih dalem daripada lagu melow yang biasa gue denger."

"Lo masih sering denger lagu melow?" tanya Livi. "Gila. Kok tahan sih lo dengerin lagu yang kayak gitu?"

"Livi," Deva memutar badannya ke arah Livi. "Lagu gue emang melow. Tapi hati gue enggak. Lagian ya Liv, nggak semua lagu gue tuh melow. Gue udah mulai berganti genre kok."

"Apa? Paling dengerin musik-musik remix gak jelas yang bikin sakit kepala. Gue tau selera lo, Dev. Pasti ada versi nggak warasnya."

Bukannya tersinggung, Deva malah tersenyum lebar. Apa tadi yang dibilang Livi? Dev? Livi baru saja menyebut namanya? Setelah beratus-ratus percakapan yang mereka lakukan sejak kelas 11 dan akhirnya Livi menyebut namanya?

"Woi," Livi memanggil Deva sambil menggerakkan tangannya di depan cowok itu. "Lo kenapa senyum-senyum gak jelas gitu deh?"

"Gak apa-apa," jawab Deva sambil menggeleng. "Lo barusan nyebut nama gue."

Livi mengerutkan keningnya. "Terus kenapa?"

"Kedengerannya indah banget kalo lo yang nyebut nama gue," jawab Deva sambil nyengir.

Livi terkekeh geli sambil mendorong bahu Deva pelan. "Lo tau gak sih Dev kalo lo tuh tai banget?"

***

Stipen = Steven. Sama kayak ferguso jadi pelguso lah atau pulguso lah. Kalo Livi sih nyebutnya Stipen.

One and Only (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang