Luka

117 3 5
                                    

 Tanah Perjanjian, merupakan tempat di mana aku tinggal terkenal dengan pepohonan rindang, air yang terus mengalir meski musim kemarau panjang tiba dan sausana malam yang sangat dingin, karena tanah perjanjian merupakan daerah pegunungan.

Di malam itu... udara sangat dingin, daun yang masih hijau pun berguguran karena tidak sanggup merasakan dinginnya malam, di saat orang-orang berkumpul dengan keluarganya di rumah masing-masing, untuk merasakan hangatnya segelas teh dan perapian yang hangat, aku malah berjalan menelusuri jalan raya.

Umurku 17 tahun, aku lumayan tinggi, dan tubuh yang ramping, rambut pirang yang bergelombang, dan poni yang meminggir ke kanan. Syal berwarna merah pun membalut leherku untuk menangkal rasa dingin.

Quint, itulah aku, aku tinggal bersama ayah dan ibu, keadaan keluarga kami berkecukupan, kebetulan aku juga anak tunggal, rumahku terletak di tepi jalan raya, ada alasan aku berjalan keluar rumah di saat malam, yaitu membeli roti di toko terdekat untuk sarapanku, biasanya aku akan sakit perut yang sangat luar biasa sakitnya apabila perut ku tidak di isi. Aku menderita magh.

Daun hijau yang berguguran diterpa angin, suasana sunyi, sepi, dan dingin, menemani perjalananku untuk pulang, aku terus berjalan menelusuri jalan raya dengan kantung kresek hitam berisi roti di tangan kananku, tidak peduli apa yang akan terjadi. Sesekali aku mengusap-ngusap tangan kanan agar terasa hangat dan menghela napas panjang, rupanya aku sudah terkena dampak udara dingin.

Tiba-tiba, aku mendengar.

Suara angin disertai gerakan bayangan hitam secepat angin, muncul dari atas pohon yang rindang dan berhenti di depanku, sangkin cepatnya aku tidak sempat melihatnya. Dia langsung "Menerkam" dan "Menggigit" leherku dengan seketika, setengah mati aku terkejut, jantung ini seakan berhenti sejenak. Aku yakin wajahku sekarang pucat, sampai-sampai aku tidak sanggup berteriak, mendadak tubuhku pun menjadi lunglai, akhirnya aku terjatuh, pandanganku semua gelap gulita.

Perlahan mataku terbuka, Aku mendapati telah berada di kamarku sendiri.

"Apa yang sudah terjadi?"

"Hah... Apakah aku masih hidup?" Aku berteriak, terperanjat bangun, dan terus-menerus menepuk-nepuk pipiku, aku sangat panik.

"Hah... Ternyata masih hidup... Syukurlah!" aku sangat bersyukur ternyata dia tidak mengambil nyawaku.

"Tapi apa atau siapa ya, bayangan hitam yang menerkam dan manggigitku tadi malam?" pertanyaan pun bermunculan.

Ibu pun muncul.

"Sudah mendingan?"

Suara lembut terdengar sangat ramah, Ibu muncul dengan membawa segelas air susu putih hangat dan roti tawar berselai strowberi, Ibu meletakannya di atas meja belajar.

"Ibu... Apa yang sebenarnya terjadi?" tanpa basa-basi aku segera bertanya peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Kau sangat pintar...! mengetuk pintu sebelum pingsan"

"Mengetuk pintu?" Aku heran.

"Oooh... Pasti aku kan Quint, hehehe!" lanjutku berbohong menutupinya dengan tertawa.

"Kamu ditemukan pingsan di depan pintu tadi malam, sudahlah sekarang kamu istirahat! Tidak usah berangkat sekolah"

"Tapi Ibu..."

"Sudah istirahat saja, Ibu sudah memberikan surat izin pada Delfhyn"

"Ibu... Aku yakin, aku baik-baik saja,"

"Kamu sangat bersemangat untuk sekolah, apakah ada alasan tertentu?" Ibu heran dengan prilaku ku yang sangat bersemangat untuk sekolah.

"Mmm..." Aku berpikir sejanak. "Aku takut ketinggalan pelajaran Ibu! Itu saja kok," lanjutku dengan nada tinggi untuk meyakinkan Ibu.

Love to Live & DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang