Memenuhi Undangan

54 1 0
                                    

Padahal masih basah peristiwa kemarin, tapi terasa lama aku telah terombang-ambing layaknya serpihan debu di udara. Waktuku berjalan semu seperti abu yang tak berarti. Kalimatnya terus menggema.

Orang bilang, ketakutan, kesediham, & kesengsaraan adalah hal yang sulit dilupakan setelah kebahagiaan. Takut, aku takut padanya. Dia monster yang hidup dan berdiri di tanah yang sama kita pijak. Kita tidak tahu diantara kita mana yang monster. Apakah hidup penuh dengan kebohongan? Apakah dunia memutar balikan logika saat ini? Vampir..... yang tadinya hanyalah fiksi, mereka meminta pengakuan padaku bahwa mereka ada.

Kepada siapa harus kuceritakan semua ini? Delfhyn? Ibu? Mereka berdua selalu mendengar keluh kesahku, tapi yang ini berbeda. Apakah mereka akan percaya? Akh.... pasti mereka menganggapku tukang bercerita. "Itu konyol Qiunt"

Sejak peristiwa kemarin, Delfhyn juga hilang entah kemana, biasanya setiap mata memandang aku selalu melihatnya. Aku akan menemuinya, sejak kecil kita bersama, mungkin dengan itu dia bisa memulihkan rasa takut ini.

Delfhyn membuka pintu, dia berdiri lesu dengan mata yang hampir terpejam. "Quint....."

"Suaramu aneh...."

"Aku sedang demam..."

Keningnya, panas sekali. Delfhyn menatap pasrah tanganku yang bergerak menyentuh keningnya.

"Panas!" lepas tanganku dari keningnya.

Kasian Delfhyn, kalau aku membandingkan rasa kesediahannya dengan rasa takutku saat ini, tentu Delfhynlah yang sudah menderita cukup lama. Ibunya meninggal sejak ia lahir, pelukan, bahkan sentuhan dari ibunya belum sempat ia dapatkan. Sejak SMP dia memutuskan untuk tinggal sendiri. Sedangkan ayahnya bekerja di kota lain, sejak itu aku sadar, hanya ditinggal dengan kemewahan saja tidak cukup. Kasih sayang lah yang lebih mahal dari apapun.

"Mau masuk? Atau terus disana? Aku akan menutup pintunya!"

"Eh, iya-iya aku masuk," aku langsung melepas sepatu dan masuk kerumahnya yang sepi itu.

Kami berdua menuju sebuah ruangan layaknya bioskop, tapi tetap saja ruangan luas itu hanya untuk menonton TV. Luas ruangannya kira-kira 10x5 m, dengan cat interior coklat tua & dilapisi wallart yang lebih cerah bergaya klasik. Tempat yang mewah untuk ditempati hanya satu orang saja.

Tubuhnya jatuh begitu saja di sofa, segera ia menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya. Kasihan sekali, menjadi pangeran di daerah yang tidak berpenduduk.

Aku segera menuju dapur, kembali dengan sewadah air es & sehelai handuk kecil. Aku masukan handuk kecil itu ke dalam air es, memerasnya sampai kering.

"Sini, aku kompres!"

Delfhyn membuka selimut yang menutupi wajahnya. "Aku sedang kedinginan..... kenapa malah memberiku es?"

"Sudah, menurut saja! Ini demi kesembuhanmu juga."

Quint mengingatkan aku pada sesosok seorang ibu yang pergi sebelum aku melihatnya. Sikapnya yang sangat baik, kadang membuatku ingin menangis.

Quint..... sejak awal dia selalu begitu, dialah yang membuat hidupku hangat meski aku hanya tinggal sendiri. Quint..... memukul kepalaku layaknya Ibu yang marah pada anaknya yang nakal. Quint..... jika dia senang aku akan lebih senang, jika ia menangis aku akan lebih menderita dari apa yang dia rasakan. Quint..... Quint..... bagaimana denganmu? Kamu melihat aku sebagai apa?

"Ibuuu...." pandangannya padaku penuh kesedihan, pertama kalinya aku mendengar kata itu, dengan suara lirih. Itu menakutkan. Jauh di dalam, hatiku terasa sedikit sakit.

Love to Live & DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang