Masa Lalu Delfhyn: Terungkap

45 1 1
                                    

"Kenapa? Kamu kaget karena aku tiba-tiba disini dan bisa menyalakan lampu tanpa menyentuh saklarnya?" tanya Eller. Perutku mual mencium aroma amis yang menyebar dalam ruangan. Aku mencoba mancari asal bau amis tersebut dengan melihat seluruh raungan. Tidak ada apapun selain puluhan tong yang tertata rapi di rak-rak 5 tingkat sepanjang dinding ruangan yang mengelilingi aku dan Eller. Mungkin isi puluhan tong tersebut asal bau amis yang membuat aku hampir muntah. Sontak tanganku menutup hidung yang mudah-mudahan bisa menangkal bau amis itu, ya meski hanya sedikit.

"Bau apa ini? Hoekh!" seruku, bau amisnya membuat lupa tindakan ajaib Eller.

"Bau? Inilah aroma manis yang Ketua Rio maksud tadi. Aroma yang membantu kami untuk bisa sampai ke kastil ini, meski ada kabut bergulung-gulung sakali pun kami bisa menciumnya dari jarak jauh sekali pun," jelas Eller, mata abunya yang sayu berusaha sinis menatapku. Tatapan meremehkanku.

"Aroma manis katamu? Hidungmu pilek? Jelas-jelas ini bau amis. Hah.... (napasku habis) apa isi semua tong ini?"

Rasa takut baru aku rasakan saat tiba-tiba Eller sudah berada di sampingku. Bagaimana bisa dia melakukan itu dengan waktu kurang dari satu detik? Bahkan aku tidak melihatnya saat dia berjalan ke arahku.

Tubuhku gemetar, suhu tubuhku tiba-tiba merendah. "Ba-bagaimana bisa....?"

"Isi tong-tong ini adalah darah, makanan kami. Kami tidak bisa hidup tanpanya," ucap Eller berbisik pada telingaku.  Aku mematung.

*****

Tubuhku melayang, terhisap ke belakang dengan kecepatan cahaya. 10 detik kemudian aku mendapati telah berada di tempat yang berbeda. Baru aku menyadari saat tubuhku berada di pangkuan tangan Eller. Ya,  Eller membawaku ke tempat lain. Sepertinya kami berada di ruang bawah tanah tempat menyimpan persediaan pangan.

"Cepat masukan garam-garam itu!" perintah Eller, sebuah karung goni kecil ia lempar padaku. Eller bersiaga, mukanya sedikit gugup.

"A-apa?" tanyaku, belum sadar situasi apa yang sedang terjadi. Meski aku tidak mengerti untuk apa garam itu, aku langsung menangkap karung dan memasukan garam yang asalnya dari sebuah tong besar dengan asal-asalan.

"Cepat!!! Mereka sudah dekat,"

"Hah? mereka siapa? Apa yang terjadi sebenarnya? Bukankah seharusnya aku yang takut saat ini pada kalian yang pemakan darah?"

"Nanti menjelaskannya! Kita harus pergi dari sini Delfyn!" ucap Eller melengking. Suasana berubah menjadi tegang gara-gara melihat tingkah Eller yang mendadak berubah.

"Dari apa?"

"Garamnya sudah banyak?" tanya Eller, melihat karung berisi garam yang aku pegang.

"Lumayan!" sahutku semangat.

"Tambah lagi!"

Langsung aku memasukan lagi  garam pada karung, kali ini dengan serius.

"Cukup! Bawa garam itu! Jangan sampai berhamburan kemana-mana!"

"Kamu saja yang bawa!" ucapku muak, menyerahkan karung padanya.

"Aku tidak bisa! Aw panas!" tangannya memerah kemudian asap mengepul saat dia menyentuh sedikit bagian karung. Aku kaget, menarik kembali karung tersebut. Kok bisa garam hampir melukainya seperti air keras saja? "Sudah kubilangkan? kamu saja yang bawa karung garam itu," tegasnya mengusap tangannya yang melepuh dan kemudian tangannya pulih seketika.

Terpaksa aku yang membawa karung itu. Dengan terbengong dengan yang telah terjadi barusan.

"Cepat ayo naik!" Eller jongkok membelakangiku. aku langsung naik di punggungnya. Eller dan aku yang digendong olehnya segera meninggalkan ruang bawah tanah tersebut dengan kecepatan lari Eller yang sangat, sangat, sangat cepat.

Aku hanya bisa terdiam melihat sekerjap bayangan yang lewat di gendongan Eller. Rencanaku gagal, tapi entah mengapa rahasia Rio dan semua orang-orang di sekitarnya terungkap dengan sendirinya, tanpa aku bertanya. Lalu untuk apa garam ini? Siapa mereka? Yang pasti bukan manusia bila mereka minum darah, bila terluka oleh garam, bila bergerak seperti hantu. Apakah aku akan selamat bersama Eller? Banyak lagi pertanyaan untuk itu.

Gerakan Eller melambat. Dari lari sekarang ia berjalan. Aku kaget saat mendapati laki-laki berambut merah berpakain rapi ala Eller, juga setinggi dan seumuran dengan Eller berjalan di sampingnya.

"Mereka ada sepuluh!" serunya, suaranya lembut namun tegas. ia lalu menengok ke arahku sebentar.

"Iya aku tahu! Keadaan Ketua bagaimana?"

"Beliau dan yang lainnya sedang menangani biang keladinya, kita harus cepat membawa Delfhyn kembali!"

“Sial, kenapa kita hanya berdua?” tanya Eller kesal.

“Tuhkan, kamu tidak mengakui kemampuanku lagi, aku itu sama dengan sepuluhnya mereka,” gumam si rambut merah.

Aku kaget saat si rambut merah tahu namaku."Maksudnya mereka, musuh? yang membuat Eller sekarang gugup?" tanyaku yang masih di punggung Eller.

"Benarkah dia gugup?" tanyanya geli, bulir berlian putih di gusinya sangat bening. Mata abunya sejuk untuk dilihat. Beda jauh dengan Eller, yang kecut orangnya.

"Apa kamu bilang?" seru Eller menengok geram padaku yang masih ia gendong.

"Sebenarnya bukan Eller saja yang gugup aku juga. Ma-maksudku kami semua,"

"Berhentilah membawa kata kami, Akkey!" teriakan Eller terdengar sampai ujung ruangan. Sangking kerasnya laki-laki yang tadi disebut Akkey oleh Eller mundur satu langkah.

*****

Melihat mimik wajah keduanya aku tahu Eller dan Akkey gugup, waspada pada serangan tiba-tiba entah dari siapa. Apalagi sekarang kami berada di hutan cemara yang gelap.

"Buat cahaya disini Akkey!" perintah Eller, tidak lama aku dengar bunyi khas jentikan jari. Bersamaan pula muncul kunang-kunang memenuhi hutan dengan cahaya remang-remang hijaunya yang khas. Akkey nyengir melihatku yang melongo.

"Ka-kalian bukan manusia!" ucapku gagap, karena kagum.

"Sebentar lagi kamu akan tahu siapa kami," ujar Eller, Eller dan Akkey mempercepat gerakan andalannya keluar dari hutan.

Jadi pembicaraan misterius mereka di sepanjang jalan itu cuma untuk memulangkan aku ke rumah?

"Sekarang kamu boleh turun, cepat masuk!" Eller merauk belakang bajuku, melemparku ke atas sampai melewati gerbang rumah dan terjatuh di halaman rumah. Bisa bayangkan sakitnya saat mendarat di tanah? Ditambah lagi sekarung garam lumayan berat mendarat di perutku.

Eller mengunci gerbang dengan rantai aneh bercahaya biru seakan dia mungurungku agar aku tidak keluar dari wilayah rumahku.

"Kamu bisa bantu kami?" tanya Eller tergesa.

"Bantu apa?" tanyaku heran yang masih terduduk di tanah.

"Bunuh mereka, dengan garam itu! Akkey pasang pelindung di sekeliling rumah ini! Sial, kenapa mereka bertambah?"

Akkey menghadap rumahku ia rentangkan kedua tangannya dengan pandangan khusu pada rumahku. Ke 2 tangannnya ia angkat perlahan. Dinding putih transparan tiba-tiba tumbuh di sekeliling pagar besi rumah sampai bertumpu di atas melebihi atap rumah bersamaan dengan bertumpunnya tangan Akkey di atas kepalanya. Akhirnya aku terkurung di kotak raksasa bersama rumahku.

"Dinding ini hanya akan menahan apapun yang ada di luar dinding termasuk aku pembuatnya sedangkan yang di dalamnya bisa menembusnya, meskipun aku mati dinding ini akan bertahan sampai matahari terbit, garam bisa menembus dinding ini tapi kamu tidak bisa keluar karena rantai Eller sudah menahanmu," jelas Akkey mendekati dinding yang ia buat, saat dia sentuh tangan Akkey seperti menyentuh kaca luar rumahku.

"Dengan kata lain kamu terkurung dan kami yang di luar tidak bisa masuk. Bersiaplah mereka akan datang!" teriak Eller. "Dari pada bengong, lemparkan saja garam itu sedikit-sedikit pada mereka, garam adalah senjata akurat, sayang sekali aku dan Akkey tidak bisa menyentuh garam, kami vampir..... yang memihakmu, Delfhyn," lanjut Eller.

Aku tidak terkejut, karena aku tahu manusia tidak memiliki kekuatan ajaib seperti ini. Memang dari awal juga aku mencurigainya namun bedanya dulu aku curiga dan takut pada mereka, sekarang rahasia itu terungkap dan aku menyesal pernah takut pada Eller, Akkey dan Rio dimana mereka susah payah melindungiku entah dari apa.

Love to Live & DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang