Pertemuan Singkat: Denzel sang Monster & Bocah Delfhyn.

60 1 0
                                    

"Apa maksudmu?"

"Kamu sedang bertanya-tanyakan? Luka di lehermu?" katanya berturut turut.

Dengan sigap aku sentuh luka di leher ini.

"Aku yakin kamu berusaha untuk tidak mempercayai adanya Vampir, iya kan? Sayang sekali, ternyata Vampir itu benar-benar ada. Kakakku yang menggigit lehermu, kami berdua adalah Vampir," jelas anak itu dengan enteng.

"Oh, aku rasa....." anak itu memotong apa yang hendak aku ucapkan.

Anak itu memotong apa yang hendak aku ucapkan. "Kamu perlu bukti?"

"Janganlah bercanda hei anak kecil!" aku mulai kesal dengan semua karangan ceritanya.

Langit tiba-tiba meredup, seakan-akan matahari ditelan sesuatu, disusul dengan terpaan angin ribut. Daun-daun pohon, debu, dan bahkan kerikil dihempasnya. Suasana berubah total menjadi mencekam. Merinding rasanya, mengapa mendadak seperti ini?

Sontak aku melindungi daerah wajah dangan ke-2 belah tangan, "A-apa yang terjadi?"

Aku perhatikan anak itu, kepalanya bergerak tidak beraturan. Tiba-tiba dia berkata, "Sefuanya suzah zelaskan? Fidak lama lazi kafu akan sepeti ini." Kata yang dia ucapkan tidak jelas, namun aku mengerti (Semuanya sudah jelaskan? Tidak lama lagi kamu akan seperti ini).

Teriakpun aku tidak sanggup. Wajahnya yang tadi mirip Denzel, berubah menjadi sosok mengerikan. Mata birunya berubah menjadi merah, seakan-akan dia memandangku dengan penuh kebencian. Muncul 2 taring di ke-2 sisi bibirnya, yang membuat ucapannya terdengar tidak jelas.

Sungguh..... mengangkat kaki untuk lari sangatlah berat. Aku tidak kuat lagi menopang tubuhku, akhirnya aku jatuh, meremas rumput dengan tangan gemetaran.

"Cukup!!!!!" teriakku kesal.

Sekali lagi, hal aneh terjadi. 5 detik setelah teriakanku, langit kembali cerah & angin mulai berhembus normal. Begitu pula dengan bocah itu, fisiknya kembali seperti Denzel lagi. Sangatlah berbahaya dia saat marah. Bagaimana kalau dia marah dengan waktu yang lama? Bisa memporah porandakan dunia.

Dia berkata dalam suasana yang masih mencekam, "Kamu tahu Jalan Kebun Cemara Antony kan?"

"Aku mengundangmu. Pergilah ke sebelah baratnya! Aku sudah memberi tanda pada pohon-pohon Cemara. Itu akan menuntunmu ke tempat kediamanku."

Setelah kata-kata itu, dia pergi secepat kilat entah kemana.

Aku berteriak mengeluarkan semua emosi, "Ini GILA!!!"

Merasa baikan, aku mulai bergegas pergi dari bukit. Tidak lama aku melihat Delfhyn di depan sana. Kami saling menghampiri.

"Quint, kemana saja kamu? Aku...."

"Bruk" entah mengapa aku memeluk Delfhyn

"Quint?"

"Diam!!!"

"Hiks.....hiks.....hiks.....," air mataku meresap pada baju bagian dadanya. Rupanya Delfhyn bertambah tinggi saat ini

Pelan-pelan dia balas memelukku, dan menepuk-nepuk pundakku. Meski aku tidak mengatakan apa-apa padanya, dia mengerti perasaanku, setidaknya aku bersamanya saat ini.

Aku senang, sejak awal kami berdua ditakdirkan untuk saling mengenal. Tidak akan pernah hilang dari benakku peristiwa 7 tahun yang lalu. 5 tahun umurku saat itu, baru satu minggu aku masuk ke sekolah tingkat SD, kelas satu. Belum ada teman yang ingin berteman denganku.

Selama satu minggu itu, saat berangkat sekolah, aku selalu melihatnya berjalan di depanku. Bocah laki-laki, teman sekelasku. Aku lihat dia selalu sendirian, saat berangkat, pulang maupun di kelas.

Di jalan menuju sekolah, 30 m dari rumahku terdapat toko roti. Dia selalu mempir ke sana untuk membeli sesuatu yang dikemas dalam keresek kecil putih dan dimasukannya ke dalam tas.

"Wah, dia membelinya sendiri." aku kagum padanya, karena aku belum pernah membeli sesuatu sendiri, lagi pula Ibu selalu membuat bekal untukku, agar aku tidak jajan sembarangan. Di kelas saat jam istirahat, dia tidak kunjung memakan yang dibelinya tadi di toko roti, "Kapan dia akan memakannya?"

Pulang sekolahnya, dia mengambil jalan yang berbeda dengan jalan saat dia berangkat sekolah. Semua hal itu, dia lakukan selama satu minggu itu. Karena penasaran aku bertanya padanya, saat pulang sekolah, "Anu..... Kenapa kamu pulang lewat jalan sana?"

Dia berhenti, sontak membalikan badannya ke arahku.

"Eh, kamukan yang terus berangkat sekolah di belakangku."

"Mmmmm..... hehehe, kamu menyadarinya?" tanyaku gugup.

"Tentu saja, kamu juga sering sendiri di kelas, iyakan?"

Pantas saja dia tidak punya teman, cara bicaranya buruk sekali.

"Mmmmm....." aku mulai kesal dengan sindirannya.

"Anu, kamu belum jawab,"

"Ouh, sampai lupa aku," dia mengusap-ngusap kepalanya dan kembali seperti semula.

"Jalan sana menuju Taman Kota, setiap pulang aku sering bermain dulu di sana. Jalannya juga menuju rumahku, selain itu jalan di sana lebih sejuk saat siang seperti ini," jelasnya panjang lebar.

"Taman Kota? Itukan jauh untuk seumuran kita,"

"Anggap saja kita sudah besar, pasti terasa dekat," katanya seperti orang tua.

"Kamu seperti Ibuku,"

"Bagaimana? Mau ikut?" tanya si bocah itu.

Aku kaget dia tiba-tiba mengajakku "Eh?"

"Oh, tidak ya?" kata bocah itu pergi, kecewa.

"Eh, tunggu dulu! Rumahmu di daerah mana?"

"Daerah Perumahan Acer kelas A!"

Disitu aku bertanya-tanya, pergi atau tidak.

Itukan daerah perumahanku juga, perumahanku kelas B berarti tidak jauh dari rumahnya. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk pergi, aku berlari menyusulnya "Tunggu! Aku ikut!"

"Hehehe..... kamu tidak akan menyesal berwisata denganku" ujarnya terus berjalan.

Love to Live & DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang