Pemandu Wisata Geratisan

49 1 0
                                    

Di perjalanan, dia selalu mengoceh, yang aku tidak tahan saat itu dia selalu mengatakan Jangan bilang kamu tidak tahu? Ingin rasanya membelah dia menjadi dua.

Sesudah melewati jalanan yang bising dan berdebu, tibalah kami di suatu tempat dengan pemandangan tiang-tiang hijau nantinggi (pohon-pohon), & bentangan karpet putih nanluas (hamparan pasir putih) disepanjang jalan, juga kursi berjajar rapi di sisi kanan-kiri sepanjang jalan. Udara segar disana membuat hidungmu terus menghisapnya panjang-panjang, dan suasana heningnya membuatmu lupa dengan masalah yang baru terjadi.

Ada beberapa kumpulan pengunjung dengan jarak agak berjauhan, ada pula beberapa tukang lukis disana-sini, yang menjual lukisan-lukisannya. Kamu juga bisa meminta tukang lukis untuk melukismu dengan pemandangan indah disana, namun kamu harus merogoh kocek yang lumayan besar, itu terbayar dengan lukisan yang sangat mirip denganmu, seperti halnya hasil memotretmu, & hanya dengan beberapa menit saja lukisan ada ditanganmu.

Rasa kagumku tidak terbendung lagi. "Waaaaaaaaaah....."

"Sini! Ayo kita ambil foto," dia menarik tasku.

"Eh? Kamu punya ponsel?"

"Ayo bilang Ciiiiiiiis!" serunya.

"Ciiiiiis,"

Zlip, cahaya singkat, yang memberi tanda bahwa poto sudah diambil.

"Mana? Boleh aku lihat hasilnya?"

"Eits... tidak sekarang," dia meninggikan badannya agar ponselnya tidak bisa diambil olehku.

Si bocah mengoceh lagi. Karena pertamakalinya aku kesana saat itu aku biarkan saja dia seperti itu, lumayankan? Mendapatkan pemandu geratis?

"Kamu bisa baca papan besi besar itu?"

"Tidak," jawabku polos.

"He?" si bocah memandang heran.

"Akukan baru masuk SD,"

"Kenapa harus menunggu lebih lama lagi? Jika sekarangpun bisa?" dia mulai lagi berceletus tidak jelas, tentu saja aku tidak mengerti saat itu.

"Aku tidak mengerti dengan cara bicaramu yang seperti itu,"

"Sudah, lupakan sajalah!" keluh bocah itu.

"Baiklah, akan aku jelaskan. Dari mana aku harus mulai?"

"Tolonglah, pohon-pohon itu, tanah putih itu. Eh---semuanya deh," aku ingin tahu semuanya saat itu, meski hanya butiran debu sekalipun.

"Jangan bilang, pohon-pohon itupun kamu tidak tahu, dan itu, itu bukan tanah putih, tapi batu karang," katanya memandangiku kesal.

"Satu kali lagi kamu bilang. Jangan bilang kamu tidak tahu? 30 kali kamu mangatakannya di sepanjang jalan tahu,"

"He? Aku tidak menyadarinya." Katanya bohong.

Dia malah pergi meninggalkanku, aku cepat menyusul langkahnya. "Hei, katanya mau menjelaskan," "Tepati janjimu!"

"TAK!!!!!!" pertama kalinya aku memukulnya.

"Aih.....aih.....aih..... kepalaku!" rintihnya kesakitan dengan mengusap-ngusap kepalanya. Dia berhenti melangkah, dan berkata, "Pantas saja kamu tidak punya teman, kamu ringan tangan," bibirnya terlihat besar saat dia mengatakan kalimat itu.

"Jangan menyindir terus, cepat jelaskan!" teriakku berancang-ancang memukulnya.

"Eh-eh-eh, iya-iya!"

Sambil berjalan, dia menjelaskan semuanya. Sejak itulah aku tahu seluk-beluk tempat yang eksotis itu. Banyak sekali peraturan yang harus dipatuhi di tempat itu, salah satunya pengunjung dilarang mengkonsumsi & membuang apapun di tempat itu, karenanya tempat itu tidak menyediakan tong sampah. Tidak ada sangsi apapun untuk si pelanggar, tapi entah mengapa pengunjung enggan melanggar peraturan itu.

Love to Live & DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang