Tusukan Perawan

637 31 0
                                    

Ini bonus cerita pendek Angga-Dira di novel Pasangan Labil. Silakan dibaca bagi yang belum baca. Terima kasih. :D

“Pokoknya nggak mau tahu, aku pengen kamu cari novel itu.” ucapku dengan ketus. Keketusanku jelas sangat beralasan. Saat ini dua krucil sedang menggelayut padaku, –yang satu menarik-narik tanganku untuk mengikutinya entah ke mana, yang satu lagi menggenggam beberapa helai rambutku dan mencoba memasukkannya ke mulut-, sedangkan pria menyebalkan di hadapanku ini dengan santainya memasukkan kedua tangannya di saku celana dan bersiul-siul riang, menatap sekeliling tempat kami berada saat ini.
“Yank, dengerin nggak sih!” ucapku masih dengan nada ketus, yang baru kusadari, semakin lama semakin berkurang khasiatnya. Lihat saja buktinya, pria di hadapanku ini masih dengan santainya mengamati sekitar tanpa memperdulikan kekesalan dan keketusanku, bahkan sama sekali tidak membantuku mengatasi para krucil ini –yang juga adalah hasil karyanya-.
“Nda, ayo ke sana … Dito mau ituuuuu …”
“Brrrr … brrrrr … uku ku ku ku … mah mah mah …”
“Yaaaaaaank …” ucapku dengan nada memperingatkan yang hanya dijawabnya dengan anggukan kepala malas-malasan sebelum akhirnya aku mengikuti tarikan tangan kecil Dito ke bagian buku anak-anak. Sebelum pergi dari hadapannya, aku mengamati matanya yang masih saja sibuk mengamati sekitar, entah mengamati apa. Semoga saja bukan mengamati pegawai-pegawai cantik toko buku ini. Awas saja kalau dia berani main mata dengan salah satu atau bahkan salah dua pegawai, aku akan memberinya skorsing anget-angetan.
Hah, sebenarnya kalau bisa, aku tidak akan menyuruh Angga mencarikan novel yang sangat aku ingini tersebut. Bukan karena hal lain, tetapi jelas karena aku tidak mempercayai Angga untuk mencarikannya. Entahlah, perasaanku mengatakan begitu, dan biasanya feelingku ini benar. Tetapi apa daya, dengan digelayuti oleh para krucil begini, bagaimana aku bisa bebas mencari novel tersebut.
Salahkan Niki yang sudah meracuniku dengan spoilernya tentang cerita persahabatan dalam novel yang berjudul Serendipity. Novel yang saat ini menjadi tujuan utamaku ke toko buku ini selain juga membelikan Dito beberapa buku mewarnai dan beberapa buku dongeng anak-anak.
Ck, sudahlah Dira, berdoa saja feeling hari ini hanya ilusi, dan Angga akan segera datang dengan novel Serendipity yang sangat kau inginkan itu.



“Nda, pulang yuk …”
“Eh?” ucapku bingung dengan segera menatap anak sulungku –yang terakhir kulihat masih sibuk memilih buku mewarnai-.
“Pulaaaaaang … kakak bosen!” rajuknya tiba-tiba.
“Lho? Emang kakak udah dapet buku yang dimau?” tanyaku sembari dengan panik melihat-lihat sekitar mencari Angga. Sedari tadi kami berpisah aku memang sama sekali tidak melihat batang hidung Angga.
Aduh, Angga di mana sih? Kan repot kalau si kakak ngambek di toko buku ini gara-gara bosan. Apalagi saat ini tanganku terlalu sibuk dengan Nia yang sudah tertidur di gendonganku sejak beberapa menit yang lalu. Bagaimana aku bisa menenangkan Dito kalau dia melancarkan serangan ngambekny?.
“Bukunya jelek-jelek.” jawabnya sembari melipat kedua lengannya di depan dada dan mengerucutkan bibirnya. Waduh … waduh … ini sih jelas pertanda buruk.
“Bentar ya, kita telpon Yanda dulu.” Ucapku yang segera mendapatkan anggukan dari Dito yang saat ini dengan gaya sok dewasanya mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. Dengan panik aku segera mengeluarkan handphoneku berniat menelepon Angga saat tiba-tiba …
“Yaaaaaaaaank …” Terlihat Angga berlari mendekati kami dengan senyum lebar dan tangannya melambai-lambaikan sebuah buku. Tetapi karena jarak masih agak jauh aku tidak tahu buku apa yang dilambai-lambaikannya. Semoga saja itu novel yang kuinginkan.
Tanpa sadar aku menghela nafas keras sehingga Nia yang tertidur sedikit terkejut dan bergerak dalam tidurnya.
“Ssssttt … sssttt …” usapku lembut menenangkan supaya Nia tertidur lelap lagi.
“Yaaaaaaaaaank …” teriak Angga yang saat ini sudah semakin dekat dengan kami, masih dengan semangat melambai-lambaikan buku yang dipegangnya. Senyumnya juga semakin lebar begitu kami sudah berhadapan.
“Aku nemu … ini …” ucapnya sangat bersemangat.
“Serendipity?” tanyaku dengan bersemangat juga, sembari mengamati buku yang dipegang Angga. Eh, tapi perasaan cover Serendipity tidak seperti itu. Ya, meskipun hanya mendengarkan spoiler dari Niki, tapi aku kemarin menyempatkan diri untuk mencari informasi tentang novel itu di internet. Dan … yah, aku yakin itu bukan Serendipity.
Nah, kalau bukan Serendipity, lalu? Dengan penasaran kuamati buku tersebut dengan lekat dan … Ya ampun! BUKU APA ITU???
Dengan segera aku mengalihkan pandanganku. Bergegas menarik tangan mungil Dito dan berjalan cepat meninggalkan Angga. “Nda … kenapa?”
“Nggak apa-apa … kita pulang sekarang …” jawabku mempercepat langkahku.
“Yank, kenapa?” Terdengar suara Angga yang panik berusaha mengejar kami. Tanpa menghiraukan Angga aku semakin mempercepat langkahku.
Aku tidak kenal … aku tidak kenal … aku tidak kenal …
Argh! Apa-apaan sih Angga, kenapa mengambil buku berjudul seperti itu?
TUSUKAN PERAWAN??? Buku macam apa itu??? Oh, My God!


“Yaaaaank …”
Nggak denger … nggak denger …
Dengan cuek aku tetap melanjutkan membuat bubur tim untuk Nia. Aku masih merasa malu dan kesal karena kejadian Angga melambai-lambaikan buku berjudul Tusukan Perawan kemarin. Ya ampun, entah apa yang ada di pikiran suamiku itu. Aku memang sudah tahu kalau pikiran Angga tidak beres, tetapi membeli buku berjudul Tusukan Perawan itu benar-benar tidak bisa aku terima. Oh ya, Angga jadi membeli buku itu. Walaupun aku sudah berlagak tidak mengenalnya, bahkan mengancamnya dengan tidur di sofa malam itu, dia tetap membelinya. Dan dengan mengesalkannya setiap malam dia membaca buku tersebut dan seolah mempelajarinya. Ah sudahlah, mengingat hal itu benar-benar seolah membangkitkan setan dalam diriku. Jadi lebih baik aku tidak mengingatnya. Anggap saja kemarin itu hanya mimpi, atau kalau perlu anggap semua itu hanya ilusi.
Aku hampir saja melempar sendok yang tadi aku gunakan mencicipi bubur tim untuk Nia saat tiba-tiba kurasakan seseorang memelukku dari belakang. Seolah tidak cukup membuatku terkejut, Angga juga berbisik lembut di telingaku, “Yaaaaaank …”
Huft … aku harus kuat … aku harus kuat …
“Yaaaaank … ngambeknya ko nggak selesai-selesai sih?” bisiknya lagi dengan tidak lupa semakin mengeratkan pelukannya padaku, bahkan Angga juga menyandarkan kepalanya di punggungku. Aduh, inget tusukan perawan … tusukan perawan … nggak boleh tergoda …
Ya elah, tapi nyaman banget sih pelukan Angga, sayang kan kalau disia-siain. Hangat begini. Hampir saja aku terlena oleh pelukan Angga saat tiba-tiba dia berkata, “Yaaaaaank … dosa loh ngambek sama suami lebih dari tiga hari …”
Hah, aku baru dua hari ngambeknya. Dan itu belum sepadan dengan rasa maluku membayangkan saat Angga membayar buku yang dibelinya itu. Ditambah lagi karena aku juga tidak mendapatkan novel yang aku ingini. Jadi cuek Dira … cueeeeekkkk …
Kutepiskan pelukan Angga. Aku tidak mau terjatuh terlalu dalam ke lembah kenikmatan yang sengaja diciptakan Angga ini. Dengan segera aku menghindari Angga dengan alasan mengambil mangkok dan ritual lainnya untuk segera menyuapi Nia.
“Yaaaaaank …” rajuknya yang mengikutiku berputar-putar di area dapur –demi aku yang menghindarinya, dan dia yang mengikutiku-.
“APA SIH? AKU MAU NYUAPIN NIA!” ucapku kesal karena Angga benar-benar menggangguku kali ini.
“Maaf …”
Oke, permintaan maaf wajib didengarkan. Jadi aku akan mendengarkannya. Kutatap Angga dengan lagak malas-malasan. Ya paling tidak aku tidak akan memperlihatkan kalau aku memang sebenarnya menunggu permintaan maafnya karena telah mempermalukanku dan anak-anak di toko buku kemarin.
“Maaf … karena kemarin aku lupa nyariin novel yang kamu pengenin.”
Oke, satu kesalahan sudah kumaafkan. Masih menatap Angga dan terdiam, aku menunggu permintaan maaf selanjutnya –yang menurutku paling penting-. Namun beberapa menit kutunggu Angga justru ikut terdiam bersamaku. Argh! Jangan bilang Angga sama sekali tidak menyesal karena buku Tusukan Perawan itu.
“Cuma itu?” tanyaku akhirnya.
“Memang ada yang lain?” tanyanya bodoh. Kan … kan … kan … Argh! Angga menyebalkan!
“Nggak!” jawabku ketus dan segera meninggalkannya.
Dasar pria mesum menyebalkan! Lupa tentang Tusukan Perawan? HAH!





Ceklek.
Kukunci pintu kamar. Sengaja! Supaya Angga berpikir kesalahan apa lagi yang dia lakukan selain lupa mencarikan novel keinginanku. Sehari tidur di sofa malam dia membeli buku itu rupanya sama sekali tidak berefek pada otaknya.
Ah, lelahnya tubuhku. Hari ini Nia sedikit rewel entah kenapa. Jadi kurasa aku harus istirahat lebih cepat, karena aku yakin, dini hari nanti Nia akan mencapai puncak kerewelannya.
Baru hendak berbaring di ranjang saat tiba-tiba tatapanku tertuju ke arah meja nakas di samping sisi ranjang yang biasanya Angga tiduri. Apa itu?
Dengan penasaran aku segera meraih kertas-kertas itu, dan kertas teratas terdapat sebuah pesan dengan tulisan yang sangat aku kenali.

Sayang …
Jangan marah terus. Kalau marah terus sayang kan paket honeymoon ini hangus.

Dan kulihat kertas-kertas selanjutnya adalah tiket pesawat dan tetek bengek lain yang menyangkut paket honeymoon untuk 3 hari di Bali. Honeymoon? Bali? Kyaaaaaaaaa …
“Yaaaaaaaaaank …” teriakku tanpa sadar dan segera berlari keluar kamar –dengan sebelumnya merutuki kunci pintu kamar yang tiba-tiba sulit dibuka-.
Terlihat Angga merentangkan tangannya lebar-lebar yang segera membuatku tersadar. Aduh lupa, aku kan masih kesal dengannya.
Tapi godaan tentang honeymoon di Bali ini benar-benar membuatku meleleh. Akibat pernikahan sembunyi-sembunyi kami dulu, aku dan Angga tidak pernah merasakan yang namanya honeymoon. Apalagi hanya beberapa bulan setelah menikah aku sudah hamil Dito. Jadi tidak salah kan kalau aku benar-benar menginginkannya.
“Ehem …” dehemku mencoba menjaga supaya suaraku tetap terdengar biasa, tidak berlebihan.
“Apa ini?” tanyaku mengacungkan kertas-kertas yang kutemukan tadi.
“Paket honeymoon …” ucap Angga dengan senyum lebar yang memperlihatkan lesung pipitnya. Oh ya, perpaduan lesung pipit Angga dan paket honeymoon yang ditawarkannya benar-benar membuatku kalah telak.
“Oh Angga … aku mauuuu … mau bangeeeeetttt …” ucapku dan tanpa menunggu lama segera menyambut rentangan tangan Angga –memeluknya erat-. Lupakan tusukan perawan … lupakan … aku mau honeymoon …
“Lusa sayang … lusa …”
“Tapi anak-anak?” Tiba-tiba aku mengingat hal yang paling penting. Kami sudah tidak hanya berdua lagi. Sudah ada Dito dan Nia di antara kami. Bagaimana ini? Aku tidak mungkin meninggalkan mereka. Tetapi membawa mereka? Itu juga bukan ide yang bagus. Ini kan honeymoon, bukan wisata keluarga.
“Anak-anak pasti aman di tangan kakek dan neneknya.” Jawab Angga santai.
“Tapi …” ucapku ragu. Angga hanya menatapku seolah mengatakan ‘semuanya akan baik-baik saja’.
“Ah, ya. Anak-anak pasti aman bersama kakek neneknya.” ucapku yakin, menepis segala keraguan yang menggelayutiku. Lagipula Nia sudah kami sapih. Dia sudah tidak lagi minum ASI ku. Jadi semua pasti akan baik-baik saja.
Lusa? Honeymoon? Aaaaahhh, bahagianya hidupkuuuuuuu …



Terserah aku dibilang norak atau apa. Aku sekarang berada di Bali. BALIIIIIIIII … Dan jangan lupakan yang paling penting, aku ke sini dalam rangka berbulan madu dengan suami mesumku –tanpa anak-anak-. Bukankah ini benar-benar sebuah keberuntungan untuk kami, atau boleh kukatakan terlebih untukku?
Oh, kurasa sebenarnya aku benar-benar harus berterima kasih pada buku Tusukan Perawan kemarin. Aku yakin, entah dengan cara apa, buku itu telah menginspirasi Angga untuk berpikir tentang bulan madu ini. Yah, pasti begitu.
“Yaaaaaaaank …” Desahan hangat nafas Angga di pipiku segera menghentikanku dari kegiatan melihat pemandangan Bali dari jendela hotel tempat kami menginap. Kami baru saja sampai di hotel ini beberapa menit yang lalu, dan aku terlalu terpana dengan dekorasi, juga pemandangan yang disuguhkan sampai-sampai melupakan suamiku yang saat ini memeluk pinggangku lembut.
“Hmmmm …” jawabku berbalik ke arah suamiku itu. Tatapan mata Angga saat ini benar-benar membuatku meleleh. Ya ampun, semenyebalkan apapun pria di hadapanku ini, tapi satu yang pasti, aku sangat mencintainya.
Perlahan-lahan tetapi pasti, Angga mendekatkan wajahnya ke wajahku yang refleks membuatku memejamkan mataku, mengerti apa yang Angga inginkan. Satu kecupan … dua kecupan … dan kecupan-kecupan tersebut mulai bergulir bagaikan bola salju yang menuruni bukit, menuju kenikmatan yang dijanjikan.
Namun saat Angga baru saja melepas 3 kancing kemejaku, aku segera menghentikannya. Ini mendesak. Aku menyadari sesuatu.
“Yank, kebelet pipis.” Ucapku dan tanpa menunggu respon Angga segera berlari menuju ke toilet.
Sebenarnya bukan kebelet pipis ini yang aku takutkan. Tapiiiiiiiiii … kan kan kan … ituuuuuu … ya ampun!
Aku mens! Terus Angga? Honeymoon kami?
Huwaaaaaa … kenapa aku bisa lupa kalau tanggal ini selalu menjadi hari pertamaku menstruasi. Bagaimana ini?
Dengan takut-takut aku menjulurkan kepalaku keluar dari kamar mandi. Aku tidak membawa persediaan pembalut karena aku benar-benar lupa tentang tanggal keramat ini.
Kulihat Angga berbaring di atas ranjang dengan bertelanjang dada. Saat ini menatapku dengan tatapan yang eerrrrrr … ah, aku benar-benar tidak tega merusak tatapan itu.
“Yaaaaaaank …” panggilku lembut.
“Iya sayaaaaaang …” jawabnya dengan menggoda.
“Eum, aku mau ngomong.” Ucapku masih dengan hanya menjulurkan kepalaku.
“Apa sayaaaaaang? Ayo ngomong aja.” Jawabnya masih dengan nada menggoda.
“Eum, itu … aku …”
“Ya?”
“Aku … mmmmm …”
“Apa sih, Yank? Ngo …”
“Aku mens.” Potongku cepat. Keheningan tiba-tiba melingkupi kamar yang kami sewa ini. tiba-tiba dengan gerakan yang sangat cepat Angga bangun dari posisinya.
“APA??? Terus honeymoon kita? Aku kan belum praktekin ajaran dari buku Tusukan Perawan ituuuu …” protesnya yang hanya membuatku melongo.
HEEEEEHHH … Tusukan Perawan lagi?

END

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Lonely PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang