[2] What A Reality!

72 0 0
                                    

"Masih ingat pulang juga lo" itulah sambutan pertama kali yang Andra dengar saat baru saja sampai di rumah.

Tanpa menghiraukan teriakan-teriakan selanjutnya, Andra melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. Di teguknya segelas air sampai tandas, berharap bisa menghilangkan rasa nyeri yang menghimpit dadanya.

"Bocah kurang ajar" maki suara itu lagi.

Ingin rasanya dia balas memaki
Orang itu. Ingin berteriak sekencang yang dia bisa padanya. Tapi Andra tahu, itu cuma angan kosong yang tak akan pernah bisa dia lakukan. Dia terlalu pengecut untuk melakukannya.

Andra menghela napas pendek lalu berderap ke ruang keluarga, di sana dia melihat seorang dengan tubuh besar tengah berbaring di atas sofa kecil yang sudah tidak muat menampung berat tubuhnya. Di meja berserakan botol-botol minuman keras dan puntung rokok.

Seharusnya Andra tidak usah peduli lagi pada orang itu. Mau hidup atau mati, itu bukan urusannya. Toh selama ini dia juga bisa hidup sendiri tanpa siapa-siapa. Tapi sekali lagi hati kecil Andra menyadarkannya, dia tidak akan bisa melakukannya karena dia pengecut. Ya pengecut, itulah sebutan yang pantas untuk menggambarkan dirinya, dia membenci itu.

Dan yang membuat Andra semakin membencinya adalah ada darah yang sama mengalir di tubuh mereka. Dengan berat hati Andra harus mengakui orang itu adalah Ayahnya. Orang yang sangat dia benci dalam hidupnya.

"Uang" ayahnya menengadahkan tangan ke arah Andra yang berdiri di sisi sofa.

Andra tak bergeming, dia masih terus menatap ayahnya. "Mau sampai kapan ayah begini?" tanya Andra lirih.

"Gue cuma butuh uang, bukan ceramah lo" ayahnya tak mempedulikan tatapan memelas Andra.

"Buat beli minuman lagi, apa judi?" ayahnya malah tertawa, pandangan matanya juga tidak fokus.

"Nggak usah banyak bacot, cepetan" ujarnya tidak sabar.

Andra merogoh saku jaketnya dan menyerahkan uang pada Ayahnya. Dia tidak ingin melawan, takut akan menerima luka yang sama. Setelah itu dia pergi ke dalam bilik kamarnya.

Andra merebahkan tubuhnya di atas kasur yang keras. Entah sudah berapa lama kasur ini tidak di jemur, dia sendiri juga tidak ingat. Matanya menatap langit-langit kamar yang gelap.

Kenapa tubuh mereka harus mengalir darah yang sama? Pertanyaan bodoh. Percuma saja dia terus-terusan memikirkan hal itu. Sampai mati pun pertanyaan itu tidak akan mengubah kalau dia anak dari ayahnya.

Andra bangkit dan terduduk di atas kasur. Dia menyandarkan punggung ke dinding yang sudah reot sambil memeluk lutut, seperti anak kecil yang sedang kebingungan.

Tak ada yang berubah dari kamarnya selama tiga hari dia tidak pulang ke rumah. Ruangan sempit itu masih sama, hanya ada meja dan lemari baju yang pintunya tidak bisa tertutup rapat karena sering di buka paksa oleh ayahnya yang selalu mengambil uangnya, sekarang dia tidak sebodoh itu, setelah beberapa kejadian itu terulang dia tidak pernah menyimpan uangnya di sana lagi.

Matanya tertuju pada buku sketsa di atas meja. Satu-satunya buku yang dia punya. Di sebelah buku sketsa ada pensil yang sudah patah, rasanya hatinya juga patah seperti pensil itu.

Apa kenyataan selalu menyakitkan. Andra selalu merasa begitu. Di hidupnya tidak pernah ada kebahagiaan. Kalau pun ada itu dulu, dulu sekali sampai dia tidak bisa mengingatnya lagi

Bahkan satu-satunya sumber kebahagiaan dirinya juga sudah tidak ada di hidupnya, pergi meninggalkannya dalam kesepian. Kadang dia berpikir untuk mengakhiri hidupnya saja, lagipula dia juga tak punya alasan untuk hidup, semuanya hilang tak berbekas, kosong, tak ada lagi yang namanya harapan. Lagi-lagi hati kecilnya menyadarkan kalau dia mengakhiri hidupnya itu sama saja dengan pengecut, melarikan diri dari masalah tanpa berani menghadapinya. Apakah dirinya di takdirkan hidup sebagai pengecut?

AleandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang