Desember 2009
Di kelas 11 aku masuk di jurusan IPS. Kulalui hari-hari dengan fokus pada pelajaran, aku bahkan mengambil les di lembaga pendidikan karena nilai matematika ku kian menurun. Mengenai dia, hanya terdengar kabar bahwa Riki bekerja di sebuah pabrik tekstil. Tak pernah aku menghubunginya sejak saat itu. Begitu pula ia juga tak pernah menghubungiku. Sampai suatu hari di bulan Desember. Sebuah nomer dirahasiakan menghubungiku.
"Halo... Siapa ya?" Kataku.
"Apa kabar, Dit?" Katanya.
"Mas Riki?"
"Iya aku Riki. Maafin aku yang kemaren, Dit. Aku udah ngecewain kamu. Aku harap setidaknya kita bisa jadi teman" katanya.
Aku terdiam memikirkan apa yang harus aku katakan. Aku marah, benci, kecewa, tapi kenangan manis selalu muncul diantaranya.
Aku segera menutup telepon. Kurasakan pedih di sekitar mataku, namun air mata seakan telah mengering.
Keesokan harinya ada panggilan nomer rahasia lagi, besoknya ada lagi, besoknya lagi sampai 1 Minggu penuh dan tak ada yang aku jawab.
Hari ke-8 ku tekan tombol hijau. Bisa ditebak siapa lagi kalau bukan Riki.
"Akhirnya dijawab juga. Dit, kamu marah banget ya sama aku?" Katanya.
"Hem" jawabku.
"Aku benar-benar minta maaf. Cuma kamu satu-satunya temen yang enak aku ajak ngobrol." Katanya.
"Enggak lagi." Kataku ketus.
"Mas, kamu bisa nggak- " lanjutku terpotong oleh kata Riki.
"Maaf maaf please maafin aku Dit!" Serunya disusul nafas yang terengah-engah.
"Semua ninggalin aku Dit. Keluarga aku, temen-temen aku, bahkan yang pertama ngenalin aku sama barang itu. Uang aku habis, motor aku jual. Aku sekarang jadi buruh harian. Bahkan tidur aja numpang temen kerja." Katanya melembut.
"Harusnya kamu minta maaf dulu ke orangtua mu mas, bukan aku" Kataku.
"Berkali-kali aku kumpulkan keberanian, tapi selalu hilang saat melihat pintu rumahku, Dit" Katanya.
"Hufft... " Ku hela nafas panjang.
"Oke aku bisa jadi temenmu, tapi dari kejauhan. Kayak gini aja cukup." Kataku."Makasih Dit, kamu memang yang paling baik yang pernah aku kenal" kata Riki.
Entah kenapa aku sangat mudah melunak. Pagar besi yang aku bangun, meleleh begitu saja karena mendengar kisah nya dengan suara yang tampak begitu tulus.
Seminggu dua kali ia menelpon, namun aku sama sekali tidak mengetahui nomernya. Aku sudah memberikan jadwal les ku, agar ia menelpon di waktu yang tepat.
"Hmm??" Kuterima telepon tepat setelah berjalan di parkiran bimbel biru.
"Pulang jalan kaki?" Katanya.
"Biasa lah, lagian deket kok. Kalo mas Riki inget, lokasinya di depan SPBU" kataku.
"Ahh maafin aku..." Katanya lesu.
Masih teringat jelas saat terakhir kita bertemu. Namun bukan berarti aku sengaja menyinggungnya.
"Sorry, ga maksud ngingetin mas. Em... Jangan minta maaf terus, aku ga enak dengernya kalo keseringan" kataku.
"Kamu ga pengen ketemu aku lagi? Sama aku mau balikin yang aku pinjem dulu" kata Riki.
"Gimana ya mas... Transfer aja bisa kan?" Jawabku. Aku takut bertemu dengannya. Teleponnya saja bisa melelehkan pagar besi yg ku buat, apalagi bertemu dengannya. Mungkin benteng pertahanan ku akan runtuh seketika. Selain itu juga pengaruh obat-obatan itu belum hilang sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembalinya Saat itu...
Romanceaku bertemu dengannya lagi di sebuah acara... "Dit... " "Ya ada apa?" Aku mencoba biasa "Tak ada apa2" jawabnya dengan menatap mataku... Konsentrasi ku terpecah, pikiranku mulai bergeliat... "Ah kok liat aku kayak gitu? Apa dia masih ingat yang du...