Ia tak menghiraukan udara malam yang terasa menusuk pori-pori kulitnya. Tak juga dia pedulikan ponselnya yang terus-menerus menjerit meminta perhatian sang pemilik. Ia tak ingin melakukan apapun. Tak ingin diusik dan tak juga ingin dicari.
Dunianya tengah berguncang. Dipenuhi hiruk pikuk tanya yang tak mungkin sanggup ia jawab. Ia tak akan pernah bisa melihat kekecewaan, meski hal itu adalah sesuatu yang mustahil.
Otaknya kini tak mampu lagi berpikir. Banyaknya hal yang bergumul, menghentak setiap rongga tengkoraknya membuat kepalanya lumpuh. Ia tak bisa lagi menampung semua yang tak mengecap kata selesai.
Perlahan ia memejamkan kedua mata ketika hembusan angin kencang menerpa wajahnya. Membiarkan semuanya menjadi kebas. Berharap bisa terlupa meski hanya untuk sekejap.
"Thanks God! Ternyata kau disini."
Seseorang terdengar mengeser pintu kaca. Terburu menghampiri kursi kayu yang ia tempati. Ia tak perlu membuka mata untuk bisa mengetahui siapa yang menginterupsi kesendiriannya. Aroma tubuhnya terlalu familiar untuk indera penciumannya.
"Taeyeon," Ia duduk di samping kirinya. Menggenggam kedua tangan yang terkepal di pangkuan. "Astaga... dingin sekali. Ayo kita kedalam!"
Sosok itu menggeleng. "Aku gagal, Ji. Mereka sudah benar-benar pergi."
"Baby..."
"Sejak tahun lalu aku sudah berusaha keras membantu mereka agar tetap tinggal. Terus berbicara dengan para direksi agar kesepakatan antara kami bisa terlaksana. Tetapi, pada akhirnya aku gagal."
Jiyong membuka jaket dan menggunakannya untuk menutupi tubuh Taeyeon. Ia tahu benar kalau berita yang dirilis setengah jam lalu itu membuat kekasihnya sangat terpukul.
"Dan, aku tidak mengira kalau mengetahui hal ini sejak awal masih saja mengguratkan luka yang sama seperti sekarang. Aku sudah mempersiapkan diri untuk bisa bersikap tenang ketika berita kepergian mereka diketahui publik, tetapi saat tadi pagi Yeong Deok Oppa menghubungiku, pertahananku lenyap seketika. Disitu pula aku menyadari kalau sebenarnya aku belum siap."
"Apa karena itu juga kau memilih untuk datang kesini?" Taeyeon mengangguk pelan. "Para member mencarimu. Bahkan tadi sore Yoona dan Tiffany meneleponku. Kau pergi dari dorm sejak pagi?"
"Ya. Aku belum sanggup melihat wajah para member, Ji. Aku tahu kalau hal ini juga berat untuk mereka."
Jiyong memperhatikan Taeyeon yang masih menutup matanya. Kesedihan kentara sekali tergurat di wajah letihnya.
"Seohyun, Tiffany, dan Sooyoung akan tetap bersamamu, Baby. Mereka hanya pergi sementara untuk mengejar impian mereka yang lain. Kau tidak gagal. Ini jalan terbaik yang harus kalian tempuh untuk bisa mewujudkan mimpi mereka yang tertunda. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri."
Taeyeon perlahan membuka kedua mata. Pandangannya memburam karena lagi-lagi tangisannya tak bisa ia tahan.
"Kau tahu, Ji? Joo Hyun langsung menemuiku di dorm saat ia telah selesai meeting dengan direksi SM. Ia mengajakku ke kamar dan memelukku. Lalu, dengan mata berkaca-kaca ia berkata padaku; Unni, selamanya aku akan tetap menjadi adik kecilmu dan kau adalah leaderku. Tak akan ada yang berubah selain kita yang tidak bisa tinggal di satu atap yang sama. Maafkan aku, Unni. Masih ada mimpi yang ingin aku wujudkan dan aku tidak bisa meraihnya apabila aku memilih untuk tetap tinggal. Terima kasih karena sejak dulu kau berjuang untuk kami. Sampai kapanpun aku akan tetap menjadi maknae dari grup kita. Dan, suatu hari nanti, kita akan berkumpul bersama lagi di atas stage. Aku tidak akan pergi darimu, Unni. Aku akan sering menemuimu dan juga unniku yang lain. Kita juga masih bisa berlibur dan merayakan ulang tahun member bersama-sama. Tidak akan ada yang berubah, Unni."

KAMU SEDANG MEMBACA
Piece of Gtae
Fiksi PenggemarIni hanyalah kepingan-kepingan cerita. Tentang penggalan satu rasa atas setiap episode kehidupan. Tentang bagaimana cara berdamai dengan keadaan. Because, life can be so cruel sometimes.