sembilan

2.2K 501 71
                                    

"Min anjing Bomin bangun." kata Jinyoung sambil ngegoyangin badan temennya yang masih terlelap.

"Ngg, apaan sih tai."

Jinyoung ngehela nafasnya, "udah jam sembilan, Haechan gak mungkin nggak ngebangunin kita. Feeling gua nggak enak."

Bomin langsung membuka matanya, sinar matahari begitu terang sampai mata cowok itu menyipit kembali. Tapi Choi Bomin langsung bangkit dari kasurnya dan berlari menuju luar.

Tepat didepan kamar, matanya bertemu dengan mata Nancy.

"Baru bangun?" kata Bomin.

Nancy mengangguk, matanya masih lebam karena Haechan kemarin. Membuat Bomin langsung mengalihkan pandangannya saking tak tega melihat Nancy seperti itu.

"Eunbin mana?" tanya Jinyoung yang sekarang dibelakang Bomin.

"Kebawah sama Hi-"

"AAAAAAAAAAAAAAAA."

Teriakan seorang Nakamura Hina bikin tiga orang yang lagi berdiri diem dieman di lantai dua langsung lari ke bawah.

"HAECHAN!"

Nancy sama Bomin panik begitu lihat Haechan mengambang di kolam renang, keduanya -dibantu Eunbin- langsung berusaha ngeluarin Haechan dari kolam tersebut.

Hina lemas, kakinya seolah tak bertulang, jadi Jinyoung sekarang membopong Hina untuk duduk di ruang tamu, sementara teman-temannya tadi mengurus mayat Haechan.

Walaupun sambil menangis.

"Jinyoung," panggil Hina. "Ini semua makin gila tau nggak? Bisa-bisa, kita berlima yang sisa mati di tangan satu orang yang bahkan kita gak tau siapa."

Jinyoung mengangguk, lalu menatap Hina tepat dimata.

















***

Mereka berlima duduk melingkar di meja ruang tamu yang menjadi saksi bisu pertumpahan darah, dan air mata mereka yang sudah pergi kesana.

"Kejadian ini," kata Bomin. "Cuma orang gila yang bisa ngelakuin ini semua sendirian."

Teman-temannya mengangguk setuju, sudah tak ada lagi yang namanya semangat diantara mereka semua.

Bahkan, rasa lapar yang seharusnya ada tergantikan oleh rasa takut.

"Min, lo sadar nggak sih?" kata Hina.

"Apa Na?"

"Gue rasa, kita semua gila,"

Jinyoung menegakkan bahunya, menatap Hina dengan tatapan rusanya.

"Kita berhasil bertahan disini dengan semua sisa sisa darah itu. Kita hidup dikelilingi darah temen sendiri, guys."

Semua orang terdiam, menunduk. Hina benar.

Jadi, apa mereka semua gila, atau terlalu sayang sampai tak mampu berpikir soal bau darah sahabatnya sendiri?

"Kita keluar dulu aja, cari makan. " kata Jinyoung tiba-tiba.

"Iya, kita harus makan dulu." kata Eunbin, lalu meraih jaket yang ada disampingnya.

Entah jaket siapa, sepertinya punya Jaemin.

"Ayo, pake mobil gua aja." kata Bomin.

Hina dan Nancy ikut berdiri, mengikuti teman-temannya untuk keluar.











***









"Gue pesen ya." kata Nancy sambil berdiri setelah menanyakan pesanan teman-temannya.

Begitu gadis itu berdiri dan berjalan menjauhi meja mereka, Hina buka suara.

"Bomin, maaf nih, tapi entah kenapa gue ngerasa kalo ini semua Nancy yang ngelakuin."

Yang disebut namanya langsung menegakkan bahu, "hah. Nggak lah, Na. Kenapa Nancy coba?"

"Jujur, walaupun gue ngebelain Nancy selama ini, gue rada ragu sama dia." kata Eunbin.

"Pertama, ini vila punya Nancy, kedua, itu pisau Nancy, dan ketiga, yang meninggal pasti yang sebelumnya berurusan sama Nancy."

Hening.

"Percaya sama gua," kata Jinyoung. "Bukan Nancy."

Eunbin langsung menghela nafasnya.

"Gue juga nggak mau percaya kalau ini Nancy, tapi semua buktinya mengarah ke dia." kata Eunbin.

Bomin memilih diam, mendengarkan perkataan teman-temannya.

"Bin," panggil Nancy begitu dia selesai memesan makanan. "Mau beli indomie nggak?"

Hina berdiri, Eunbin mengangguk. Dasar budak indomie.

"Indomaret deket sini mana?" tanya Jinyoung. "Kalo jauh nanti aja lah."

"Samping sini indomaret tolol." kata Eunbin.

Lalu dia menggandeng Nancy dan Hina berjalan menuju indomaret. Ninggalin Bomin sama Jinyoung yang milih buat war ML berdua.


















blood.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang