sepuluh

2.1K 487 113
                                    

Begitu kembali ke vila, Nancy merasakan hal yang berbeda dari teman-temannya.

Hina terlihat begitu diam, gak seperti biasanya. Lalu Eunbin kelihatan lebih nempel sama Hina dibanding sama dirinya.

Aneh.

Nancy jadi merasa terasingkan. Gadis itu menggelengkan kepalanya, menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang bersarang di otaknya.

"Kenapa, hm?" kata Bomin yang sadar dengan pergerakan Nancy yang menjadi lebih kaku.

"Enggak."

Bomin mengacak rambut gadis kesayangannya itu.

"Bohong."

Nancy tersenyum kecil, pemuda dihadapannya ini emang terlalu baik kalau disandingkan sama Nancy yang blangsak.

"Nanti malam nggak usah ada yang jaga ya? Toh percuma juga, malah yang jaga yang kena. Mending semuanya dikamar."

Bomin mengangguk, "okay."

Begitu masuk kamar, Nancy mendapati Eunbin dan Hina tengah duduk di kasur dan membicarakan sesuatu yang langsung berhenti begitu Nancy masuk.

Kentara sekali mereka ngomongin Nancy.

"G-gue tidur dikamar Heejin, ya?" kata Nancy, daripada dia mendengar sahabat terdekatnya sendiri menggosipkan dirinya, lebih baik Nancy yang menjauh.

"Hah? Kenapa Nan? Disini aja, bahaya." kata Eunbin.

Nancy menggeleng, "lagi mau sendiri."

Hina langsung menundukkan kepalanya, tak berani menatap Nancy karena gadis itu merasa bersalah telah membicarakan Nancy.

"S-serius lo?" kata Eunbin memastikan. Di dalam hati gadis itu, dia gak mau nancy tidur sendiri karena gak mau temennya itu terluka.

"Iya, nggak papa kok."

Selanjutnya, Nancy membuka kenop pintu dan keluar meninggalkan Eunbin dan Hina sendirian.

fuck off bitch ( 10 )

Nancy : guys

Bomin : ya?

Jinyoung : knp nan

Nancy : usahain malam ini nggak ada yang keluar ya.



















***





Hina sama Eunbin masih diem dikamar, handphone mereka yang nggak tau ada dimana bikin dua orang itu malah gabut sekarang.

Nggak, sih, nggak gabut. Cuma merasa bersalah aja sama Nancy.

Jangan-jangan, Nancy mau pindah kamar karena merasa nggak nyaman.

"Na, bikinin gue indomie dong." kata Eunbin sambil merajuk.

"Yuk, laper nih anjir."

Eunbin baru aja berdiri, tapi tiba tiba dia merasa ada panggilan alam.

"Mules anjrit. Lo duluan deh, nanti gue nyusul, sumpah."

Hina ngangguk ngangguk, bikin Eunbin bersyukur yang ada sama dia sekarang adalah Hina si pemberani, bukan Siyeon si cengeng.

Oh, atau, kalau itu Nancy, Eunbin bakal ngerasa lebih aman lagi.

Begitu Hina turun kebawah, Eunbin langsung ngibrit ke kamar mandi. Dia bener bener nggak tahan buat buang air.

Sayangnya, belum sempet cewek itu buka pintu kamar mandi, seseorang narik bajunya, den ngebekep mulut Eunbin.

"Lo teriak lo kelar." kata orang itu.

Kwon Eunbin mengatupkan matanya rapat rapat, pasrah akan apa yang terjadi.

Ingin teriak pun Eunbin gak bisa, tenggorokannya tercekat. Terlalu kaget sama objek yang sekarang nyeret dia masuk ke kamar mandi.

"L-lo kok bisa bisa....hiks."

Wow, Eunbin menangis didepan orang itu.

"Haha, lo bisa nangis?"

Eunbin terdiam, pintu kamar mandi tertutup. Orang itu menarik rambut panjang miliknya dan menabrakkan kepala Eunbin ke dinding kamar mandi.

Sang gadis hanya mampu menangis, merasakan darahnya sendiri mengalir.

Tak hanya sekali, kepala Eunbin terus menerus ditabrakkan ke dinding.

Hidung gadis itu bahkan sudah mengeluarkan darah.

"Lo beruntung, karena lo Eunbin."











***







Air panas yang Hina masak untuk mie-nya sudah mendidih, tapi Eunbin belum datang juga. Gadis itu jadi merasa nggak nyaman. Tapi akhirnya dia milih buat ngelanjutin masak.

"Hina," panggil seseorang dari belakang.

"Eh, lo ngapain?" jawab Hina.

Alih-alih menjawab, orang tersebut kini menarik Hina menjauhi kompor, lalu mematikan kompor yang tadinya masih menyala.

"N-ngapain sih lo?"

"Hmm, ngapain yaaa."

Hina merinding, sekarang di otaknya terbayang-bayang Jaemin.

"Mau nyusul Jaemin nggak?"

Cewek itu berteriak, namun percuma. Dapur yang terpisah dari rumah utama gak bakalan bikin suara Hina sampai ke telinga temen-temennya.

Orang itu mengambil pisau yang barusan Hina pakai buat ngebuka bungkus mie.

"J-jangan macem macem." kata Hina sambil mundur, bersiap untuk lari.

Sayangnya, Hina kalah cepat. Orang tersebut keburu meraih tangannya den menodong leher Hina dengan pisau.

"LEPASIN GUE NGGAK!"

leher Hina ditusuk.

Gadis itu lemas, tak sanggup lagi untuk merespon. Dia jatuh ke lantai.

Pisau yang sekarang berlumur darah menguliti lengan Hina, pelakunya hanya tersenyum. Sebelum akhirnya menyiram Hina dengan air mendidih.



( A/N )

Gimana? udah ada bayangan siapa pembunuhnya?

blood.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang