5. Madame Tassauds.

53 5 2
                                    

Pukul 14:32 Sydney. Masih dihari kedua, dihari Jumat yang berbahagia ini, setelah melaksanakan kewajiban dihari Jumat. Dhea lanjut mengajakku ke salah satu tempat di Sydney. Yaitu museum patung lilin yang tersebar juga dibeberapa negara dan dikenal di seluruh dunia. Patung-patung lilin ini dibentuk menyerupai tokoh-tokoh terkenal di Australia dan seluruh dunia.

Tiket masuk untuk orang yang diayas 16 tahun adalah USD 55-69 atau jika dirupiahkan sekitar Rp. 720 - 905 ribu. Aku tau memang mahal. Tapi saat ini aku dan Dhea sedang beruntung, mendapat tiket dengan cuma-cuma dari dua orang pengunjung yang tidak jadi masuk kedalam, tak tau apa sebabnya.

Aku dan Dhea langsung memasuki Madame tussauds ini. Disini Dhea terlihat antusias dan senang, karena walaupun dia tinggal di sini, tapi inilah kali pertama dia mengunjungi tempat ini. Bersamaku.

"kau tau? kenapa aku mengajakmu kesini?"

"karena itu tugasmu, mengajakku ke tempat-tempat yang ada di Sydney"

"iya, kau benar. Lets take a picture with them"

Hampir semua tokoh lilin di museum ini berfoto dengan kami, kecuali Michael Jackson. Dhea takut dengan patung lilin berbentuk Michael Jackson, katanya orangnya udah mati, dia takut akan dihantui. Dia juga takut jika tiba-tiba patung-patung lilin disini meliriknya. Dia juga punya pikiran jika ditengah malam nanti, patung-patung lilin disini akan berjalan-jalan, lalu ketika pagi, mereka kembali ke posisi awal. Menggemaskan sekali manusia ini.

"aku tau kenapa kau mengajakku kesini"

"karena itu tugasku"

"ada lagi"

"apa?"

"karena bersamaku, kalau kau sendirian kesini, kau tidak akan berani"

"Haha that's right, dude"

Tertawa lagi. Dengan Dhea. Manusia ini membuatku nyaman, nyaman sekali. Aku berjanji, jika ada yang menyakitinya, orang itu akan menyesal seumur hidupnya. Pegang janjiku. Tidak akan ku biarkan satu luka pun terbersit dalam diri manusia ini. Manusia ini akan jadi milikku.

Madame Tassauds tutup jam 6 sore pada hari Kamis, dan sekarang sudah jam 04.42 waktu Sydney. Aku melihat Dhea sepertinya belum kelelahan, tapi aku memutuskan untuk mengantarnya kembali ke asrama. Sebelum itu, kami mampir lagi ke Ralph's cafe untuk makan. Ralph's cafe ini sudah menjadi tempat favorit Dhea sejak dulu, sekarang aku juga menjadikan cafe ini tempat favorit, karena menyediakan italian food kesukaanku.

"Devan Arial, apa kau sudah menemukan jawaban dari lamunanmu?"

"kau"

"maksudmu?"

"aku hanya sedang merindukan chairmate-ku yang sudah lama tidak mengacaukan tidur pagiku disekolah"

"segitu rindunya sampai menyusul ku kesini dan melamunkan ku selama berhari-hari. Untung saja kau tidak jadi gila"

"gila karena Dheannisa, aku rela"

Aku melihat manusia cantik ini tersenyum lagi. Kurasa dia bukan manusia. Melainkan bidadari surga yang dikirim Tuhan untukku. Terserah kau mau bilang apa lagi.

Aku kembali ke hotel untuk beristirahat, rasanya tidak ingin mengakhiri pertemuanku dengan Dhea hari ini.

Aku merebahkan tubuhku di sofa, ku pejamkan mataku, memikirkan hari ini. Hari dimana Dhea memberiku satu "kode keras" bahwa Dhea menungguku. Bahagia sekali, walaupun itu belum pasti aku.

Terlampau memikirkan hari ini, mataku terpejam dan aku tertidur di sofa sepanjang 2 meter. Baru 2 menit terpejam, sudah ada telepon masuk. Malas sekali rasanya aku bangun dan mengangkat telepon. Aku terpaksa mengangkatnya, hanya karena ingin pindah dari sofa ke tempat tidur.

"ini bukan waktu yang tepat Ben" ucapku langsung tanpa membiarkan si penelepon berbicara, karena feelingku merasa itu telepon dari Ben. Setelah itu, aku matikan teleponnya.

Aku kembali ke atas tempat tidurku, dan menghiraukan dering telepon yang berbunyi dari tadi.

Disela pejaman mataku, aku mengingat kembali kata kata Dhea saat di Madame Tassauds tadi, didepan patung lilin personel One Direction.

"Devan"

"hmm" jawabku sambil memotret patung-patung lilin yang ada di sekelilingku.

"aku rindu Piyip"

Aku menurunkan kameraku, lalu berbalik menghadap Dhea.

"Piyip hanya seekor burung, Dhe" ucapku kembali memotret.

"Devan, Piyip itu menyenangkan"

Aku menurunkan kembali kameraku seketika berbalik badan.

"Kau jauh lebih menyenangkan"

Itu jelas keluar dari mulut seorang Devan Arial. Entah apa yang membuatku berani berkata seperti itu ke Dhea. Keceplosan ini membuat jantungku olahraga.

Aku menatap Dhea yang juga menatapku. Merasakan jantungku yang berdetak kencang melebihi batas normal. Tapi disini, kulihat pipinya Dhea menjadi lebih merah dari biasanya. Matanyapun berbinar seolah sedang bahagia. Aku tidak merasa menyesal sedikitpun saat menceploskan perkataanku tadi, malah tambah yakin bahwa Dhea benar-benar suka padaku.

Terlepas dari kejadian itu, aku dan Dhea menjadi canggung dan cukup lama kami tidak memulai bicara. Sampai akhirnya aku yang memulai dengan mengajaknya kembali ke asrama.

Jujur, aku sebenarnya juga merindukan peliharaanku yang satu itu, tapi bagaimanapun, kenari merah yang sama bentuknya belum tentu sama kelakuannya. kenari merah yang ku punya itu sangat pintar. selalu menyahut ketika aku dan Dhea berbicara padanya, tapi ketika orang lain berbicara dengannya, dia diam. penjelasan singkatnya, burung itu hanya menyahut ketika mendengar suaraku dan Dhea saja.

***

DHEANNISA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang