6. Saturday Night in Sydney.

26 4 0
                                    


Hari ini sudah hari ketiga aku di Sydney. Kota terbaik yang pernah aku kunjungi. Kota dimana aku menemukan chairmate-ku yang sudah 3 tahun duduk bersamaku saat SMA. Kota dimana aku menemukan jawaban atas semua lamunan yang menyerangku. Kota dimana Port Jackson menjadi saksi bisu kalau chairmate-ku itu bilang bahwa dia menungguku. Kota dimana patung lilin dari personel One Direction menjadi saksi bahwa saat itu jantungku berdebar sangat kencang. Rasanya aku tidak ingin kembali ke Indonesia.

~

Hari ini adalah hari Sabtu. Hari dimana seharusnya Dheannisa mengajakku ke Sea Life Sydney Aquarium, tapi ternyata dia tidak bisa menemaniku ke sana karena Dhea ada urusan mendadak dengan teman-temannya. Entah apa itu, aku tak tau.

Sekarang aku ada di Chinatown, Sydney. Disinilah tempat yang pas untuk berpetualang mencari makanan Chinese, aksesoris, dan barang-barang lainnya. Chinatown yang berlokasi diantara Darling Harbour dan Central Station ini tepatnya bisa dikunjungi di Haymarket yang berpusat di Dixion Street. Karena khusus untuk pejalan kaki, jadi aku bisa berlenggang di tempat ini tanpa harus khawatir dengan kendaraan yang berlalu lalang.

Aku disini sendirian. Benar-benar tidak ada satupun orang yang ku kenal disini. Sebenarnya aku bisa minta Val menemaniku untuk menjelajahi Sydney hari ini, jika Dheannisa tidak bisa menemaniku. Tapi, bodohnya aku lupa meminta nomor ponsel Val kemarin.

Sebelum aku masuk area Chinatown, seseorang memberitahuku bahwa lebih baik berkunjung kesini pada hari Jumat malam saja karena banyak turis yang berkunjung dari beberapa negara termasuk Indonesia dan pedagangnya juga lebih banyak dari biasanya. Tapi yasudahlah, hari Jumat sudah berlalu.

Aku berjalan sendiri, melihat pernak pernik yang dijual disini sambil mencari cemilan untuk malam mingguku di Sydney. Berjalan sambil memotret adalah hal yang menyenangkan. Saat aku berada didepan toko pernak-pernik khas China itu, ada seseorang yang entah siapa itu, mendekatiku.

"Apa kau ingin membeli oleh-oleh untuk kekasihmu?" Tanyanya.

"Iya, nyonya"

"Aku menjual beberapa pasang gantungan kunci berbentuk beberapa jenis burung, siapa tau kau ingin membelikannya untuk kekasihmu" Wanita itu menyodorkan sekantung gantungan kunci yang dia jual.

Aku tertarik, karena aku mengingat Piyip yang juga seekor burung. Aku bisa memberikannya pada Dheannisa.

"Hmm apa ada sepasang burung kenari merah?"

"Tentu saja ada. Sebentar ku cari"

Wanita berusia lanjut itu mencari gantungan kunci yang ku pesan di kantung tas yang dibawanya. Gantungan kunci itu berwarna merah, persis seperti burung kenari merah yang ku punya dulu. Setelah membeli barang si wanita tua itu, wanita itu mengajakku ke tempat dimana dia membuat gantungan kunci. Sebenarnya aku sedikit takut, tapi aku sangat penasaran dengan cara pembuatannya.

Tempatnya masih didalam Chinatown. Dia mengajakku ke sebuah kios kecil di antara kios kios besar yang menjual makanan Chinese. Ruangan sempit itu dijadikan wanita itu sebagai tempat mengukir gantungan kunci. Walaupun hanya ruangan kecil yang pengap, tapi ruangan ini terlihat sangat rapi dan bersih.

"Kau punya kekasih?" wanita itu melemparkan pertanyaan itu saat dia sedang mengukir gantungan kunci yang terbuat dari kayu itu.

"Belum"

"Lalu untuk siapa gantungan kunci yang kau beli dariku?"

"Untuk temanku"

"Seorang gadis?"

"Iya, namanya Dheannisa."

"Nama yang bagus, sudah berapa lama kau dekat dengannya?"

"Ha?"

Saat itu aku terlalu fokus melihatnya mengukir hingga tidak terlalu mendengar jelas perkataannya.

"Maaf jika aku terlalu mencampurimu"

"Ah, tidak. Aku dengannya berteman saat masuk SMA"

"Apa kau tidak mencintainya?"

"Entah lah, nyonya. Aku juga tidak tau bagaimana perasaanku dengannya"

"Ikuti kata hatimu, nak. Aku yakin kau akan menemukan gadis yang terbaik"

"Pasti, nyonya. Kalau begitu, aku pamit dulu. Aku harus kembali sebelum matahari tenggelam" ucapku sambil memasangkan tas ransel ku ke pundak sebelah kanan.

"Tunggu sebentar" wanita itu menahanku dengan tangannya yang dingin.

Aku membalikkan badanku menghadap sang wanita paruh baya itu, kudapati dia tersenyum ke arahku lalu mendekatiku.

"Siapa namamu, anak muda?" tanyanya sedikit menyeramkan.

"Devan. Devan Arial"

"Ini, simpanlah. Ingat terus padaku" katanya sembari memberikan aku satu gantungan kunci yang berbentuk hati.

Aku tersenyum padanya yang dari tadi tersenyum. Aku senang bertemu dengan wanita ini walau sedikit menyeramkan.

"Terimakasih, boleh aku tau namamu?"

"Panggil aku Ellen" ucapnya kembali duduk melanjutkan pekerjaannya.

"Aku pergi dulu, nyonya Ellen"

Aku meninggalkan Ellen dan juga Chinatown, karena matahari hampir terbenam. Aku tidak akan tau jalan pulang jika sudah gelap, dan itu kan merepotkan semua orang. Aku kembali ke hotel tempat aku menginap, menikmati malam Minggu sendirian di kamar hotel. Tidak ada satupun yang menemaniku disini, entah dimana Dheannisa dan Val.

Suram sekali malam mingguku di Sydney, sudah ku coba menelepon Ben tapi tak ada sahutan darinya, begitu juga teman-temanku yang lainnya.

Malam minggu ini kuhabiskan dengan menonton serial TV Australia yang sama sekali tidak ku mengerti, setelah itu aku membuat coklat panas sambil menikmati cemilan yang ku beli di Chinatown tadi sore di balkon kamar hotel ku yang view-nya menghadap ke jalanan yang ramai dengan orang-orang berlalu lalang.

~

Saat aku ingin memejamkan mataku, mengakhiri malam minggu ini. Aku terbayang lagi dengan Ellen, dan gantungan kunci berbentuk hati yang dia berikan padaku. Tadinya, aku berniat akan memberikan gantungan kunci berbentuk hati itu kepada Dheannisa, tapi kupikir jangan, karena itu adalah pemberian kenang-kenangan dari Ellen.

Gantungan kunci berbentuk burung kenari merah tetap ku berikan kepada Dheannisa, agar dia tidak merindukan Piyip lagi. Yang satunya lagi, akan ku simpan untukku.

Hai Dhea! Besok hari keempat aku di Sydney, aku kembali di hari kelima. Apa kau mau menemaniku besok? Ada sesuatu yang akan ku berikan padamu.

• Hai Dev! Lihat besok ya,
aku belum tau jadwalku besok.

• oke, sampai jumpa besok!

Kembali kututup ponselku lalu meletakkannya di meja sebelah ranjang hotel yang kutidurin. Ku pejamkan mataku dan berharap besok aku bisa bertemu Dheannisa, dan menghabiskan waktu terakhirku di Sydney bersamanya.

***

DHEANNISA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang