Prolog

131K 8.4K 571
                                    

"Kenapa lo di sini?" Tissa bertanya kering. Tatapannya menyapu rumputan hijau di depan, sama sekali enggan berbalik untuk melihat seseorang di samping bahunya. Tissa hanya sedang meneguhkan hati. "Kenapa lo di sini?" ulangnya lagi dengan geram tertahan di tenggorokan.

Tuhan ... dia hanya ingin menangis.

"Karena gue memang mau di sini," pria itu bergumam ringan. Kakinya melangkah ke depan, membentangkan jarak sekitar tiga langkah dari Tissa yang kini berada di belakangnya. "Karena gue memang mau di sini, Tis," desah pelan dari bibirnya tersapu angin. Namun pria itu tersenyum, memandang sendu langit senja yang telah menguning. "Udah cukup lo tangisi takdir lo. Dunia kita nggak berkutat sama cinta terus-terusan, Tis. Hidup ini keras, dan kalau sekadar cinta udah bisa buat kita membanjiri semesta, mau jadi apa nanti kita di neraka?" pria itu menoleh dengan sorot jenaka. "For your information, neraka nggak pernah banjir. Sekalipun makhluk-makhluk pendosa kayak kita nangis jejeritan di sana. Neraka cepat nyerap cairan, cara kerjanya mungkin kayak Laurier Super Maxi."

Tissa memejamkan mata erat-erat, tak lupa ia juga katupkan rahangnya. Berhadapan dengan laki-laki ini kerap membuatnya merasa sinting.

"Kalau mau ketawa jangan ditahan, Tis, nggak bagus buat pencernaan," pria itu berkelakar.

Harusnya Tissa terbahak-bahak seperti biasa. Namun hatinya mengeras menolak tawa. "Lo bisa nganggep gue kayak dulu, anggap aja gue nggak pernah ada. Dan interaksi lo sama gue nggak lebih dari sekadar teman kuliah di satu Universitas yang sama. Selebihnya, tolong, pura-pura nggak tahu apa-apa."

"Susah, Tis," pria itu menjawab tangkas. Ia memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana bahan yang pria itu kenakan. Sambil memiringkan tubuh, senyum jahilnya mengukir tulus. "Gue udah terlalu tua buat bersikap masa bodoh sama elo. Dan gue ngerasa udah pantas kalau sekarang mulai perhatiin elo. Gue udah dewasa kalau lo mau tahu."

Tissa menghapus air matanya cepat-cepat. Lalu melajukan langkah untuk menyamai pria itu. "Masalahnya, gue udah muak sama semua label dewasa yang tercipta di sini. Gue bosan sama laki-laki yang menganggap pemikirannya lebih maju dari perempuan. Terus seenaknya menghardik gue, karena kemampuan gue nyembuhin luka nggak pernah berhasil."

Buru-buru pria itu mengganti raut wajahnya. "Gue fleksibel kok, Tis. Bisa berubah sesuai kebutuhan," kata pria itu cepat-cepat.

Suatu getaran aneh menggelitik dada Tissa dengan cara yang paling tidak mengenakkan. Alih-alih merasa marah, Tissa justru menghamburkan diri memeluk pria itu. "Ajari gue menata hati, Lang. Ajari gue kembali jadi matahari."

Senyum pria 26 tahun itu mengembang. Ia memang belum setua itu untuk mengerti arti kehidupan. Namun usianya juga bukan remaja yang masih sibuk memikirkan hidup sendiri. Pria itu sedang menasbihkan hati, menjadi dewasa versinya setelah beberapa tahun lulus kuliah. "Lo nggak perlu jadi matahari lagi, Tis," bisiknya yang membuat Tissa mendongak. "Lo juga nggak perlu jadi mendung," ia mengusap kening Tissa yang berkeringat. "Lo cukup jadi Tissa aja, karena Tuhan nyiptain lo buat jadi manusia. Jadi, lo nggak boleh maruk dengan bilang pengin jadi matahari. Sumpah, gue alergi sunblock." Kekeh pria itu senang.

Membuat Tissa mendengus dan memilih mengerucutkan bibirnya ke depan. "Dasar sinting!" ucap Tissa sewot.

Membuat pria dalam dekapannya terbahak dan memilih mengeratkan pelukan. "Lo nggak perlu jadi benda-benda langit, Tis," kata pria itu setengah geli. "Karena menurut gue, lo cukup jadi sinting kayak dulu aja. Terus nemeni kesintingan gue, hingga akhirnya kita berhasil menciptakan kewarasan."

Tissa menepuk dada pria itu keras-keras. Sebodoh iblis saja dengan ringisannya, Tissa segera membuat jarak. "Gue harusnya dengerin kata Riza buat meriksain kejiwaan gue di saat gue ngangguk bilang setuju buat ngejalin hubungan sama lo," keluh Tissa sembari pura-pura mengernyit jijik. Tapi tak menolak ketika pria itu menawarinya uluran tangan. Tissa langsung menyambutnya.

Tak ada gurat yang memperlihatkan sakit hatinya, pria tersebut menarik Tissa mendekat. "Hubungan kita tuh, nggak perlu kelihatan mewah. Cukup di akhirnya aja nanti langsung sakinah, mawaddah, warohmah."

Dan Tissa tergelak sendiri, mendekap erat lengan asing yang tak pernah ia perkiraan sebelumnya. "Lo tahu, gue rasa lo baru aja menyentuh jiwa gue dengan cara yang paling nggak romantis di dunia."

"Nggak apa-apalah, yang penting gue kan setia."

Tissa mencibir, "Setiap Tikungan Ada?"

"Iissh, ya, bukan," pria itu menyanggah. "Tapi, Senyumanmu Tikam Aku."

"Najis, Lang! Najis!" seru Tissa dan berlari meninggalkan pemakaman.

Ya, tempat cinta pertamanya telah beristirahat dengan tenang.

Lalu Tissa terdiam beberapa saat, kediamannya membuat langkahnya kontan terhenti. "Tapi ..." suaranya menggantung di udara. Ia menoleh pada lelaki di sebelahnya. Senyumnya yang tadi sempat terbit kembali sirna. Ia mengingat, apa yang membuatnya bersikap gelap mata dan berlari ke pemakaman ini. "Apa bener, Mira ngandung anak lo?" 

Seperti yang sudah Tissa perkirakan sebelumnya, ia melihat wajah pria itu, pias.

*** 

Knock My SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang