6. Mampir

38K 5.9K 278
                                        

***

Gilang sengaja pulang lebih awal dari rumah Abi dan menyisahkan Satria yang mengomel karena Gilang membawa dua kotak pizza yang seharusnya Satria bawa pulang untuk kakaknya. Gilang sih, sudah mati kebal dengan ocehan Satria. Sejam kemudian dia juga pasti akan menghubungi Gilang lalu mengatakan rindu yang teramat berat.

Ya, andai ada yang percaya saja.

Pokoknya, kemarahan Satria tidak akan bertahan lama. Juga tidak seseram kemarahan Gerandong junjungannya dalam serial Mak Lampir. Intinya, mereka akan kembali bersahabat seperti kepompong yang bersiap menjadi kupu-kupu. Karena mereka adalah sahabat satu merek kondom di masa lalu.

Well, sebab kini Gilang sudah mulai bertaubat. Sudah lama ia tak membeli karet pengaman itu. Entah kalau Satria. Intinya, mereka adalah teman sejati yang pernah mengarungi bagaimana gelapnya masa-masa jahiliyah itu bersama-sama.

Sudahlah, tinggalkan saja cerita Satria dan kenangan mereka di masa lalu. Sekarang saatnya menyeberangi masa depan dan segala liku misterinya. Oke, apakah bahasa Gilang ini sudah terdengar berwawasan?

Membunyikan klakson dua kali di depan gerbang berpagar sebatas dada orang dewasa di kawasan perumahan asing, Gilang mematikan mesin motornya sambil bersidekap menunggu seseorang dengan tampang masam yang akan keluar dari rumah tersebut. Ya, Gilang sudah pernah datang ke kompleks ini sekali.

Dan tak lama kemudian harapan Gilang terkabul, karena diperjalanan tadi, ia sempat mengirimkan pesan pada salah satu penghuni rumah ini perihal kedatangannya yang akan mengganggu.

"Gue harus beristighfar berapa ratus kali sih buat hari ini aja?!" seru wanita itu tanpa repot-repot menutupi kekesalannya. "Lo tahu nggak sih sebenernya kalau adab bertamu itu ada?"

Gilang melempar cengiran andalannya, lalu membuka helm dan meletakannya di salah satu kaca spion. "Waalaikumsalam juga Tissa, sambutan lo manis banget sumpah," sindir Gilang seraya mendengkus.

Ngomong-ngomong, Gilang memang sedang tak waras mendatangi rumah Tissa di jam sepuluh malam. Dan yang gilanya lagi, Gilang sama sekali tak tahu mengapa ia nekat mampir ke sini, padahal sudah jelas-jelas membayangkan sambutan seperti apa yang akan diterimanya.

"Andai Diagon Aley itu ada, gue nggak akan pikir dua kali buat order tongkat sihir dari sana!" seru Tissa melotot murka. Ia sudah mengenakan piyama tidur lengkap dengan rambut yang ia gerai. "Terus ngerapalkan mantra Avada Kedavra tepat di kepala elo!"

"Aaahh ... gue mati," Gilang pura-pura menyentuh keningnya. "Sinar hijau tongkat sihir Voldemort mengenai otak gue," tambah Gilang sambil berusaha keras menahan semburan tawa. "Atau coba lo periksa, Tis, barangkali malah muncul tanda zig zag di kening gue. Terus ternyata, gue lah anak yang bertahan hidup itu." Lalu Gilang tertawa keras, menertawakan omong kosongnya sendiri.

Menggeram gemas, Tissa menghentakkan kakinya ke tanah dengan keras. Kemudian ia menengadahkan kedua tangannya ke atas, seperti orang yang hendak berdoa. "Ya Allah, tolong beri hamba banyak kesabaran dalam menghadapi manusia yang sudah Engkau kutuk ini ya, Rabb!"

"Amin!" sahut Gilang segera. Lalu kembali tersenyum manis demi melawan wajah bertekuk masam ala Tissa. Namun Gilang tak berhenti menggoda Tissa sampai di situ saja. "Kok pas lo doa, terus gue ngaminin tadi, kita keliatan kompak ya, Tis? Gimana kalau beberapa bulan lagi, gue yang doa, terus lo yang bilang amin. Tapi prosesnya kita lagi berada di atas sajadah. Terus ditutup sama lo yang cium tangan gue, dan gue nyium kening lo. Gimana Tis?" Gilang menaik turunkan alisnya dengan raut wajah bersirat tengil.

Mengelus dadanya sungguh-sungguh, Tissa menggeleng pelan saat membalas tatapan Gilang. "Amit-amit jabang bayi," sontak Tissa mengelus perutnya dengan serampangan.

Knock My SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang