4. Turun Tahta

43.6K 6.4K 261
                                    


*** 

Tissa termenung sambil menunggu giliran istirahatnya. Di akhir bulan, jarang sekali masyarakat yang membuka tabungan. Hari ini saja hanya beberapa istri anggota Polri yang menemui Customer Service untuk meminta pergantian kartu Atm baru setelah kartu mereka tertelan mesin Atm saat mengambil uang ketika tanggal gajian. Atau ibu-ibu yang meminta bantuan karena ternyata kartunya terblokir sebab sudah lebih dari tiga kali salah memasukan pin. Selebihnya tidak terlalu banyak kesibukan yang Tissa alami. Namun ia harus tetap berupaya sok sibuk di depan layar monitor.

Merasa bingung harus mensyukuri atau malah sedih karena ditempatkan di sebuah Kantor Cabang Pembantu dan bukannya di Kantor Pusat, Tissa mencoba menjalani hari-harinya dengan memasang senyum teramah di wajah tatkala melayani nasabah.

Hidup Tissa jelas sangat monoton. Jujur, ia tidak terlalu mencintai pekerjaannya. Sebagai seorang CS, ia dituntut harus seramah mungkin pada nasabah. Namun semua itu tetap berpedoman pada profesionalisme semata. Interaksinya terbatas.

Padahal, Tissa membenci pengekangan. Ia terbiasa mengutarakan pendapatnya secara bebas. Ia akan mengatakan tidak suka pada hal-hal kaku yang membelenggu. Namun tak keberatan menyatakan suka jika ia sudah merasa cocok pada sesuatu itu. Ayahnya mengajarkan dia untuk terbiasa jujur pada diri sendiri. Dulu, Tissa selalu menerapkannya. Namun, saat Dennis—cinta pertamanya—meninggal di depan matanya, setelah Tissa melihat sendiri bagaimana kejamnya penyakit itu melumpuhkan Dennis, Tissa seakan kehilangan arah.

Hidupnya terasa lumpuh total.

Tissa tak mampu lagi berkata jujur pada dirinya sendiri. Karena kejujurannya hanya akan membuat air matanya menganak sungai dan berpotensi tak surut. Lalu pelan-pelan, Tissa mulai mahir mendustai dirinya. Berkata bisa walau sebenarnya ia tak mampu. Berujar kuat saat kenyataannya ia tengah lemah. Tissa mulai semakin pintar berkelit mengenai keadaannya, terlebih di depan orangtuanya. Tissa hanya tak mau menjadi beban pikiran mereka.

Hingga di malam kemarin ...

Tissa memejamkan mata, mencoba menarik diri dari belenggu kelam yang ingin menenggelamkannya. Tak mau mengakuinya, tetapi Gilang berhasil membuat Tissa jujur setelah sekian tahun baik-baik saja dengan kebohongan yang ia rangkai apik.

Tenang Tis, gue nggak kayak elo kok. Gue gampang move on.

Ya, Tissa tidak bisa bangkit hingga detik ini. Bahkan kenyamanan yang ditawarkan mantan kekasihnya setelah kepergian Dennis pun, tak bisa membuat Tissa beranjak dari kubangan kenangan. Padahal, tak ada memori indah yang pernah ia rajut dengan Dennis. Tak ada juga kata-kata manis yang mengiringi kehidupan mereka di masa perkuliahan. Namun entah mengapa, kenangan akan sosok Dennis melekat begitu kuat. Sampai Tissa harus kehabisan tenaga untuk mencapai akar guna mencabutnya.

Hingga pada akhirnya Tissa menyerah. Dan membiarkan kenangan Dennis hidup beriringan dengan masa depannya. Bahkan terkadang, tak jarang kenangan itu justru melesat terlebih dahulu.

Namun sentuhan ajaib Gilang, membuat Tissa sadar. Tidak seharusnya ia memuja kenangan. Apalagi dengan mengabadikan kenangan itu di kepalanya.

Hah, Tissa tak tahu harus bagaimana bersikap. Bahkan ketika Gilang pada akhirnya mengiringi kepulangannya dengan mobil. Entahlah, Tissa tahu bahwa Gilang memang seajaib teman-teman pria itu yang lainnya. Tetapi satu hal yang pasti, cara Gilang mengusir Dennis membuat Tissa takjub.

Tak ada seorang pun yang pernah berbuat demikian terhadapnya. Mantan kekasih Tissa sebelumnya pun, tak pernah melakukan hal itu. Satu-satunya yang dilakukan Dylan—mantan kekasih Tissa—hanyalah mengusap-usap lengannya. Tissa selalu ditenangkan, namun Gilang menyadarkannya. Membuatnya terperanjat saat dengan tanpa perasaan, pria itu mengusik Dennis yang bertahta di dalam kepalanya.

Knock My SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang