Aku Memang Seorang Puteri

65 7 2
                                    

   Lapangan kecil setengah basah itu masih dipadati anak-anak yang berlarian  bermandikan lumpur. Tawa bergema disana-sini. Sesekali terdengar pertengkaran. Lalu kembali  terbahak melanjutkan permainan. Satu dua anak yang terjatuh disambut pingkal tawa anak-anak lainnya. Gumpalan lumpur lembab hasil hujan dua hari dua malam beterbangan diudara mencari sasaran yang dimaksud si pelempar.

    Para pengasuh panti sengaja membiarkan mereka bebas melakukan apa saja di lapangan sore ini. Karena hujan dua hari berturut-turut mencuri waktu bermain mereka. Sebenarnya mereka berkumpul di lapangan menantikan pelangi. Tapi tak ada alamat bias cahaya penuh warna itu akan muncul.

    Salah satu anak terlihat memisahkan diri disisi lapangan. Berjongkok memegangi bilah kotor penuh lumpur. Melukis garis-garis tak beraturan ditanah lembab diiringi senandung yang tak jelas apa liriknya. Ia melepaskan sendal, menata sedemikian rupa lalu mendudukinya. Kedua kaki telanjangnya kini terjulur kedepan. Tangan mungilnya masih sibuk melukis garis yang semakin tak berpola. Sesekali menyingkirkan rambut ikal yang tertiup angin dari wajah bulatnya. Ia tak mempedulikan sekitar. Bahkan saat lukisan garisnya rusak terkena lemparan bola, ia hanya berdiri menatap kumpulan anak laki-laki dilapangan. Mengambil bola yang sekarang ada dihadapannya. Lalu membuangnya jauh-jauh ke luar lapangan. Dan kembali menekuni karyanya.

    ...

    Suster Mia mendekati gadis kecil itu. Ikut berjongkok disampingnya. Memperhatikan lukisan yang sedari tadi ditekuni tangan dekil itu.

"Puteri gak ikut main sama teman-teman?"

"Enggak, Suster"

"Puteri lagi ngapain memangnya?"

"Puteri lagi bikin istana. Tuh, suster liat kan?"

Jawabnya sambil memajukan bibir, menunjuk lukisan didepannya.

"Oooohhh istana toh. Istana buat siapa?"

"Buat Puteri suster, puteri kan memang puteri. Kata Suster Susi, puteri seharusnya tinggal di istana".

Suster Mia sabar mendengarkan ocehan gadis kecil yang kini telah berpindah ke pangkuannya. Hingga azan maghrib menyadarkan mereka. Senja sudah beranjak.

Rindu Sang PuteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang