Dia memang seorang puteri

46 6 0
                                    

Sore ini Amira berkunjung lagi ke panti. Kali ini datang seorang diri. Ia tak sabar jika harus menunggu kesibukan suaminya selesai. Lebih cepat lebih baik menurutnya. Ia bertekad hari ini harus berhasil membujuk kepala panti untuk mengizinkannya mengadopsi salah satu anak asuh disana.

Memasuki gerbang, ia mengambil nafas panjang. Baginya, udara disini adalah rumahnya. Ia hafal betul setiap jengkal bangunannya. Dimana dulu ia biasa berkejaran. Dimana dulu ia biasa menangis. Dimana dulu ia biasa sembunyi karena menghindari tugas menyiram tanaman. Dimana ia biasa menghabiskan makan malam ditengah lapangan sambil menikmati bintang.

Tiba-tiba ia rindu dengan bintang-bintang itu. Karena itu ia memutuskan tujuan utamanya kali ini bukanlah kantor kepala panti. Tapi lapangan.

Disana ramai. Terlihat anak-anak berlarian bebas kesana-kemari. Sebagian anak laki-laki bermain bola sepak. Yang lainnya sibuk mengerjai teman-teman yang terlihat enggan bermain. Ia berjalan menyisiri sisi lapangan. Berhenti saat mendapati anak perempuan usia sekitar 5 tahun tampak khusuk bersenandung sambil membuat pola tak beraturan diatas tanah lembab.

Amira memperhatikan dari jauh. Melihatnya menatap segerombolan anak lelaki ditengah lapangan sambil memegang bola. Bola salah alamat yang merusak karyanya. Puas menatap, gadis mungil itu melemparkan bola sekuat tenaga keluar lapangan. Lalu kembali menekuni lukisannya.


Amira gemas dibuatnya. Ia mendekat ingin menyapa. Tapi seorang wanita berpakaian pengasuh panti mendahuluinya.
Tampaknya gadis cilik menggemaskan itu sedang menjelaskan hasil coretannya kepada pengasuh. Entah apa yang dikatakannya, tapi bibir merahnya manyun lucu sekali mengarahkannya pada lukisan abstrak yang sebagian telah rusak terkena bola.
Amira menunggu, tapi gadis kecil yang entah siapa namanya itu tetap ditemani oleh pengasuhnya. Hingga azan maghrib berkumandang.

Rindu Sang PuteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang