2.7

1.1K 77 3
                                    

"Di hari ulang tahunku kali ini, harapannya hanya satu. 'Dapat ucapan dari bunda' walaupun hanya di dalam mimpi."

-Sellen Tatifa Argantara.

•••

"Assalamu'alaikum, Sellen pulang!" Sellen masuk dengan senyum yang mengembang.

Mbok Darmi datang dengan tergopoh-gopoh, "Wa'alaikumsalam non. Eh udah pulang ya non? Temenin mbok ke taman belakang yuk non,"

Sellen mengernyit heran melihat mbok Darmi yang berujar dengan paniknya, "Mbok kenapa sih? Sakit?"

Mbok Darmi gelagapan, "E-eh enggak papa kok non, ayo non temenin mbok ke taman belakang,"

Sellen melepaskan tangan mbok Darmi dari genggamannya secara halus, "Bentar ya mbok, aku mau ganti baju dulu."

Setelah berkata itu, Sellen bergegas masuk ke dalam rumah.

Senyum yang tadi terukir kini perlahan menghilang dengan slow motion, "A... yah?" Bibirnya bergetar.

Anggar tersenyum lebar sambil melangkah menghampiri Sellen yang masih diam membeku.

"Kamu kenal tante Liana 'kan? Dia ini calon mama kamu sekarang,"

Serasa ada petir yang menyambar. Serasa ada seember air dingin yang mengguyur badannya. Serasa bumi berputar, semua itu kini yang dirasakan Sellen.

Sellen berlari keluar rumah, melewati mbok Darmi yang sedari tadi memanggil namanya.

Sellen berlari tak tentu arah, bahkan sekarang tangisnya sudah pecah.

Kenapa bisa jadi kayak gini?

Walau sudah jauh berlari, tapi tetap saja kaki Sellen masih melangkah. Ia berlari jauh dari rumahnya. Tak peduli dengan dia yang masih menggunakan seragam lengkap.

Kakinya berhenti, dilihatnya sekeliling. Seketika senyumnya mengembang, tapi air matanya tetap jatuh meluruh.

"Assalamu'alaikum bunda." Sellen berjongkok di samping makam bundanya.

"Bunda ingat ini tanggal berapa?"

"Aku ulang tahun bunda," Sellen mengelus nisan bundanya pelan.

Sellen menghapus air mata yang sudah mengalir di pipinya, "Tadi temen-temen aku pada ngasih kado lho bun. Kadonya unik-unik lagi " Sellen terkekeh. "Masa aku dikasih beha plus tiga pack pembalut bun sama Elia. Parah banget dia ya bun," lanjutnya lagi.

"Kalo Dhannisa, kasih aku baju, bajunya couple-an sama Elia dan Dhannisa," Sellen tersenyum kecil, "Aku udah muji-muji dia tuh bun karena cuma dia yang ngasih kado paling bagus, eh gak taunya di dalam bajunya ada cotton buds sama kapur ajaib," adu Sellen lagi.

Sellen mendongakan kepalanya ke atas saat dirasa air matanya ingin mendesak keluar, "Di hari ulang tahunku kali ini, harapannya cuma satu. 'Dapet ucapan dari bunda' walaupun hanya di dalam mimpi."

Sellen memandang tangannya yang terkena air. Ini bukan air matanya Sellen, melainkan rintikan air hujan yang turun ke bumi.

Sellen tersenyum, setiap Sellen bersedih pasti hujan akan turun, seakan tahu apa yang sedang Sellen rasakan.

Perlahan hujan turun dengan deras, Sellen mencium nisan bundanya, "Bunda jangan sedih ya. Bunda pasti selalu ada di hati ayah,"

"Aku sedih bunda. Aku gak rela ayah menikah lagi," Sellen berkata dengan bibir yang bergetar, sesekali suara sesenggukan terdengar, "Apalagi ayah nikah sama tante Liana. Mamanya Hana," tangisnya pecah, bersamaan dengan air hujan yang turun semakin deras.

Tak peduli dengan seragam dan tasnya yang sudah basah kuyup, masa bodoh juga dengan buku-bukunya yang ia yakini pasti sudah basah.

Langit sudah berubah warna. Yang tadinya cerah kini gelap.

Angin sore berhembus dengan kencang. Tubuh Sellen menggigil, tapi Sellen sama sekali tak ada niatan untuk beranjak pulang.

Tubuhnya bergetar, air matanya yang hangat bercampur dengan air hujan yang dingin.

Ia membuka matanya, lalu mendongak. Matanya beradu pandang dengan mata seorang pria yang kini sudah berdiri di sampingnya, tangan pria itu memegangi payung yang saat ini ia gunakan untuk melindungi tubuhnya dan juga tubuh Sellen yang masih berjongkok.

Sellen berdiri, kepalanya tertunduk. Ia tidak mau mata sembabnya ini terlihat oleh orang lain.

Pria itu, Raynand. Ia mendekap Sellen dengan erat, "Nangis aja Len yang kenceng, jangan ditahan,"

"Nangis? Siapa yang nangis?" elaknya, lalu tertawa hampa.

Raynand melempar payungnya asal, lalu mendekap gadis di depannya itu sangat erat, "Lo tuh bego! Udah tau lagi sedih masih aja ketawa. Hati sama mulut lo gak konsisten. Jangan labil jadi cewek! Kalo mau ketawa, ya ketawa. Kalo mau nangis, ya nangis aja. Gak usah sok tegar!"

Sellen membalas pelukan Raynand tak kalah erat, tubuhnya bergetar hebat, tangisnya pecah seketika.

Raynand mengelus punggung Sellen, "Nangis aja yang kenceng, jangan takut dibilang cengeng. Kalaupun mereka bilang lo cengenglah, lebay lah, gak usah dipeduliin. Karena yang rasain itu elo sendiri, bukan mereka," Raynand melepaskan pelukannya, memegang kedua pundak Sellen lalu menatapnya dalam, "Kalo mau nangis, nangis aja Len, this is your heart. Lo punya hati, kasian hati lo kalo lo terus-terusan menentang kemauannya," lanjutnya lagi.

Raynand menarik dagu Sellen yang sedari tadi menunduk, "Lo denger kan, Len? Lo paham kan?"

Sellen mengangguk, lalu tersenyum kecil.

Raynand menatap makam di sampingnya itu, "Ini siapa?"

Sellen melihat ke arah pandang Raynand, "Bidadari tanpa sayapnya gue," Raynand mengangguk mengerti.

Raynand berjongkok, begitupun dengan Sellen, "Halo tante. Saya Raynand, temennya Sellen. Anak tante bolehkan temenan sama saya? Saya janji bakalan jagain dia kok tan."  Sellen terkekeh kecil saat melihat Raynand yang berbicara pada makam bundanya ini.

Raynand menoleh ke arah Sellen, "Kenapa ketawa? Gue lagi serius heh!"

"Hehe iya maaf,"

Raynand memandang Sellen, membuat Sellen salah tingkah. "Gue serius Len sama ucapan gue barusan" Raynand menghembuskan napasnya pelan, "Gue sayang lo."

Maaf kalo feelnya kurang atau bahkan gak dapet. Maaf juga kalo ada typo😂

See you💕

To be continued...

Soleil Noir [ END ] ✓Where stories live. Discover now