Extra Part - 2

679 44 5
                                    

"Kemarin malam lo salah lirik, Nand. Kenapa lo?"

Raynand menggeleng, lalu menghembuskan asap rokok yang habis dihisapnya.

"Lo mau kuliah kapan, Nand? Nih gue sama bocah-bocah udah ngumpulin uang buat bantu biaya daftar lo."

Raynand mendorong sodoran uang dari Satria. "Kan gue udah bilang, gak usah. Lo balikin aja itu duit Andra sama Ari, simpen aja buat kebutuhan lo pada."

Satria menghela napasnya. "Keburu gue sama yang lainnya kelar S1. Nah, lo mau sampe kapan kayak gini terus?"

Raynand melempar puntung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya sampai abunya mati.

"Kalo lo keberatan gue tumpangin terus, gue bisa keluar dari kost-an lo, Sat."

"Engga gitu maksud gue, Nand. Ini demi masa depan lo juga. Masa lo mau luntang-lantung gini aja."

Raynand berdiri. "Malem ini gue beresin barang-barang gue dari kost lo. Makasih udah nampung gue."

"Eh mau kemana? Dua jam lagi kita ada job di cafènya Mas Arwin." teriak Satria.

Raynand tidak membalas teriakan Satria, ia masuk ke dalam kost-an yang ditempati Satria, lalu mengemasi barang-barangnya.

Satria mengacak gemas rambutnya.

"Kenapa sih tuh anak? Semenjak kabur dari rumah sifatnya jadi keras, gampang sensian." gumam Satria.

✴️✴️✴️

"Kamu lagi belanja sendiri?"

"Iya sendiri."

"Maaf ya, aku gak bisa nemenin. Hati-hati lho, Sellen."

Sellen terkekeh. "Iya, Daniel, gak apa-apa. Kamu 'kan harus prepare buat balik ke Jakarta besok. Jangan sampai ada yang ketinggalan itu barang-barang kamu."

Terdengar suara gaduh dari telepon, lalu disusul suara benturan yang lumayan kencang. Hampir saja Sellen menyemburkan tawanya jika saja tak ingat bahwa dirinya sedang berada di tempat ramai.

"Aduh,"

"Kamu kenapa, Daniel? Ribut banget, sih."

Daniel meringis. "Jempol kaki aku kelindes roda koper, kopernya refleks aku tendang deh. Sekarang mental tuh koper ke ujung tembok."

Sellen tertawa, tapi seketika ia menutup mulutnya agar tawanya tidak mengundang perhatian orang-orang.

"Kamu ceroboh banget sih. Hati-hati makanya." kata Sellen sambil mengambil beberapa jenis bumbu masakan di rak.

"Yaudah, udah dulu ya, Daniel. Teleponan sama kamu nanti aku gak selesai-selesai belanjanya."

"Yaudah, hati-hati ya nanti pulangnya. Jangan lama-lama belanjanya, biar pulangnya gak kemalaman."

"Iya, Daniel. Kamu bawel banget, sih."

Daniel tertawa. "Kamu matiin gih sambungannya."

"Oke. Bye, Daniel." Setelah itu Sellen memutuskan sambungannya.

Sellen memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya, lalu menjutkan mendorong trolleynya.

Sellen berhenti di tempat buah-buahan. "Enaknya beli buah apa ya?" gumamnya.

Setelah beberapa menit menimbang-nimbang ingin membeli buah apa, akhirnya Sellen memilih apel dan buah naga merah.

"Udah cukup kali ya, udah banyak banget ini."

Setelah membayar belanjaannya di kasir, Sellen memesan taxi online lewat aplikasi.

Ia membawa belanjaannya keluar supermarket, berniat untuk mencari tempat duduk sambil menunggu mobil pesanannya tiba.

"Eh, Mbak. Plastiknya bolong nih, belanjaannya pada jatuh."

Sellen melebarkan matanya, lalu mengecek plastik mana yang berlubang. Sellen membawa tiga plastik, dua berukuran besar dan satunya berukuran sedang. Untungnya, plastik yang rusak hanya satu, tapi sialnya plastik itu ukuran besar. Jadinya, banyak barang yang berserakan di lantai.

"Plastiknya gak kuat nampung banyak kali ya, jadinya robek." gumam Sellen sambil mengambil barang-barangnya yang berjatuhan.

"Saya ke dalam lagi ya, Mbak, mintain plastik baru buat Mbak-nya."

Sellen yang sedang fokus memunguti barang belanjaannya hanya mengangguk sambil menjawab, tanpa menoleh kepada laki-laki yang membantunya.

"Iya, Mas, makasih banyak ya."

Tak butuh waktu lama, laki-laki itu sudah kembali menghampiri Sellen yang baru saja selesai merapikan barang-barangnya.

"Ini, Mbak, plastiknya."

Sellen mendongak. "Maka—"

"Sellen?"

Sellen menelan ludahnya susah payah, dengan cepat ia mengambil kantong plastik dari tangan laki-laki itu.

"Makasih ya, Mas, sudah bantu saya."

"Eh sebentar, ini Sellen 'kan?"

Sellen buru-buru memasukkan barang belanjaannya ke dalam kantong plastik baru, tangannya mengeluarkan keringat dingin.

"Bukan, Mas. Mas-nya salah orang. Terima kasih ya, Mas. Saya permisi dulu."

Sellen ingin segera beranjak dari tempat itu, tapi tangannya sudah lebih dulu dicekal oleh laki-laki itu.

"Len, gue tau ini lo. Please, Len, sebentar dulu. Jangan pergi. Ini gue, Raynand."

Sellen memejamkan matanya sejenak. "Lepasin, gue mau pulang."

"Kalo lo berontak gini, terpaksa gue bakal peluk lo di sini." ancam Raynand.

Sellen memandang tajam Raynand. "Gak usah brengsek ya lo!"

"Ya makanya, dengerin gue dulu. Gue kangen lo, banget." lirih Raynand.

Sellen menghembuskan napasnya. "Tapi gue udah pesen taxi online, mobilnya udah sampe."

"Kalau gitu gue ikut lo." ujar Raynand dengan cepat.

Sellen melotot. "Raynand!"

"Tolong, Len. Gue cuma mau ngomong sesuatu sama lo."

Sellen berdecak. Ia benci pada dirinya sendiri yang selalu luluh akan sikap Raynand padanya.

Kenapa gue masih bisa suka sama lo sih, Ray?


Kalian lebih suka cerita yang HAPPY ENDING atau SAD ENDING, guys? Komen yaaa kawan-kawan ><

Sampai jumpa di part selanjutnya~

Salam,

San❣

Soleil Noir [ END ] ✓Where stories live. Discover now