1. Pertemuan Pertama

11.6K 673 28
                                    

5 tahun yang lalu...

Shera's POV

Malam begitu cerah. Bintang-bintang seakan menjadi serpihan permata yang semakin mempercantik cakrawala hitam. Kulayangkan pandanganku ke sekeliling. Kendaraan berseliweran, derunya membuat bising, tapi aku menikmatinya seakan aku berada di dunia luar yang bebas. Ya untuk sesaat aku terbebas dari panasnya suasana rumah yang semakin menjadi sejak nenek lampir itu datang. Sejak awal aku tak menyukainya. Aku tak pernah setuju ayah menikah dengannya. Aku tahu ayah kesepian sejak ibu meninggal tujuh tahun yang lalu. Tapi kenapa harus wanita itu yang ia pilih?

Masakannya tak enak, suaranya tinggi melengking dan seringkali sewot, marah-marah, super duper bawel, wajahnya tak pernah terlihat cantik kendati dia mengoles bibirnya dengan lipstik setebal tujuh senti sekalipun, badannya padat berisi dengan ukuran baju XL ke atas tapi jika berbicara dengan teman-temannya, dia mengatakan ukuran bajunya L atau malah M. Dia suka dandan, gosip, lagu dangdut, merokok, dan yang pasti dia suka duit. Kalau ayah pulang kerja membawa uang sedikit, dia pasti marah-marah. Ayah dan dia tidak memiliki anak dan aku bersyukur untuk hal itu. Aku anak satu-satunya ayah dan almarhum ibu yang masih hidup hingga sekarang. Dulu aku punya adik laki-laki. Dia meninggal di ulangtahunnya yang kelima. Saat itu aku duduk di bangku kelas lima SD.

"Emakmu nggak nyariin kamu Sher?" Franda teman sebangkuku di sekolah membuyarkan lamunanku dengan pertanyaan konyolnya. Mana mungkin mak lampir itu mencariku. Dia malah senang kalau aku pergi dari rumah.

"Nggak lah Fran, dia malah seneng kali kalau aku pergi. Harusnya aku yang nanya, papa mamamu nggak nyariin kamu?"

Wajar jika aku berpikir mama papanya pasti akan bertanya-tanya kenapa hingga jam sembilan malam putri tunggalnya belum kembali ke rumah. Franda ini anak orang kaya. Segala kebutuhannya selalu dipenuhi. Papa mamanya memanjakannya dengan beragam fasilitas. Bahkan dia sudah dipercaya memegang kartu kredit sendiri. Dia sering berbelanja dengan kartu itu hingga jutaan.

"Nggak Sher. Papa mama lagi ada urusan bisnis di luar kota. Papa lagi di Bali, mama ikut fashion week di Medan."

"Kita bikin permainan yuk," Aga tiba-tiba saja ikut nimbrung.

"Permainan apa?" Roland yang sedari tadi mengepulkan asap rokok jadi tertarik untuk ikut berbincang.

Aga memandang lepas ke seberang jalan.

"Kalian lihat minimarket itu. Aku ingin kita hompimpa, yang beda sendiri dia harus mengutil sesuatu dari minimarket itu."

Kami semua terbelalak dan menatap Aga dengan pandangan bertanya.

"Are you crazy?" Roland memicingkan matanya.

"Aku nggak berani deh. Sebandel-bandelnya kita jangan ampe nyuri." Pekik Franda.

Aku, Franda, Aga dan Roland adalah empat sekawan yang menjadi dekat karena kesamaan background keluarga yang tak bahagia. Orangtua Aga bercerai sejak dia duduk di bangku SMP. Sekarang Aga tinggal bersama kakek neneknya karena Aga tak mau tinggal dengan orangtuanya, papa mamanya sudah memiliki pasangan masing-masing. Orangtua Roland masih lengkap alias belum bercerai, tapi mereka sering bertengkar dan Roland kerap frustasi dibuatnya. Dia melampiaskan kemarahannya pada rokok dan terkadang mabuk di night club. Franda juga sama seperti Aga, orangtuanya super sibuk, jarang punya waktu untuk anaknya dan mereka juga sering bertengkar karena papa Franda punya istri simpanan. Dan aku, aku selalu tertekan dengan sikap ibu tiriku yang tak pernah akur denganku. Yang menyebalkan ayah sering membelanya.

Meski awalnya ragu, akhirnya kami sepakat untuk mencoba permainan ini. Mungkin tak ada adegan ekstrim dalam permainan ini, hanya bermodal celingak-celinguk dan mengambil barang apa aja, tapi adrenalin akan tetap terpacu. Bahkan aku sudah merasa tegang dan cemas dari sekarang, meski belum tentu juga aku yang mendapat tantangannya.

Kami mulai hompimpa. Butuh hingga sepuluh kali hompimpa baru deh ada yang berbeda sendiri. Sialnya aku yang mendapat tantangan itu. Franda tersenyum lega. Roland menertawakanku. Aga mengedipkan matanya, "silakan princess Shera, kami akan menunggumu di sini."

Aku mendengus. Dengan gontai aku menyeberang jalan dan melangkah menuju minimarket. Aku memang kadang bandel. Aku pernah bolos sekolah, aku kabur dari pelajaran Kimia dan lebih memilih makan di kantin, aku pernah tidak mengumpulkan tugas Biologi, aku pernah berkelahi dengan kakak kelas dan aku juga pernah membuat seorang anak kehilangan satu giginya karena tinjuanku. Tapi mengutil di minimarket? Ini akan menjadi pengalaman pertamaku. Aku deg-degan dan gugup luar biasa.

Aku melangkah masuk ke dalam minimarket. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, ada sekitar lima pengunjung yang sedang berbelanja. Kasir perempuan berambut pendek itu tampak sibuk memasukkan barang belanjaan salah satu pembeli. Aku melangkah menuju rak makanan ringan. Ada coklat kecil yang sepertinya muat di saku celanaku. Aduh, aku nervous dan takut. Jika aku membatalkan permainan ini, aku akan dianggap pengecut oleh teman-temanku.

Kutoleh ke kanan dan ke kiri. Mataku menerawang ke langit-langit dan sudut atap, mencari keberadaan cctv agar aku bisa mengatur posisiku untuk memuluskan rencanaku. Setelah aku merasa kondisi aman, aku ambil coklat kecil itu dan segera kumasukkan ke saku celanaku. Saat berbalik mataku tertambat pada sosok cowok tinggi tegap di depanku dengan rambut sedikit ikal dan tatapan mata setajam naga seolah siap mengulitiku habis-habisan. Dia tahu apa yang baru saja aku lakukan. aku terkejut luar biasa. Debaran jantungku serasa lebih cepat. Aku mulai cemas dan takut.

"Kembalikan coklat itu." Ucapnya datar.

Tidak bisa, teman-temanku menunggu hasil rampasanku ini. Kalau aku gagal, apa kata mereka?

Cowok bersweater warna biru tua ini mencengkeram tanganku dengan kuatnya. Aku bisa membaca tulisan "amore incondizionato" tercetak di sweaternya.

"Kembalikan, dasar pencuri!"

Orang-orang menatap aneh padaku. Aku tak bisa berpikir jernih. Sekuat tenaga kulepaskan tanganku darinya lalu aku berlari. Cowok itu mengejarku. Aku terus berlari di trotoar menyusuri lampu-lampu pinggir jalan yang memberi sinar dan banyak toko sudah tutup pintu. Napaasku tersengal-sengal. Sesekali kutoleh ke belakang. Cowok itu masih mengejar.

Aku memasuki gang kecil di sebelah bangunan kosong. Ini bukan gang, tapi jalan setapak yang hanya bisa dilewati dua orang. Cowok itu belum menyerah. Dia berlari semakin mendekat. Aku semakin panik kala kudapati tembok tinggi menjulang di depanku. Sial, jalan buntu. Aku berbalik dan cowok itu sudah berdiri di depanku sambil menyeringai.

"Mau kemana kau? Kembalikan coklat itu. Dasar tukang kutil. Perempuan kok seneng ngutil."

Aku ketakutan. Napasku masih terengah-engah. Kuambil coklat kecil itu dari saku celanaku. Kuserahkan padanya. Dia menerimanya dengan tatapan menyeramkan meski kuakui siluet wajahnya terlihat tampan di bawah sorot lampu.

"Aku minta kartu identitasmu."

Aku kaget mendengarnya. Untuk apa dia meminta kartu identitasku.

"Aku nggak bawa." Akhirnya aku menemukan alasan untuk menolak permintaannya.

"Jangan bohong, ayo cepat berikan, atau aku akan menggeledah sendiri." Cowok itu maju beberapa langkah hingga hanya berjarak beberapa senti dariku. Dia memasukan tangannya ke saku di samping celanaku.

"Eh apa yang kamu lakukan? nggak sopan banget ya, pegang-pegang perempuan."

Cowok itu agak mundur, "makanya ayo cepat kasih kartunya."

Posisiku sudah terpojok sekarang, kabur sudah nggak bisa. Dengan terpaksa kuambil dompetku dan kubuka dompet itu. Aku ambil kartu pelajar yang menyisip ke dalam kantong kecil di dalam dompet. Kuserahkan kartu pelajarku padanya dengan ragu sambil terus bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan dengan kartu itu.

Dia mengamati kartuku, mungkin sedang mengeja namaku.

"Masih SMA sudah belajar mencuri. Mau jadi apa kamu? Kartu ini aku bawa, tenang nanti juga akan kembali lagi padamu."

Cowok itu berlalu meninggalkanku. Aku mematung dengan ribuan rasa cemas menyergapku. Apa yang akan dia lakukan dengan kartu pelajarku? Ya Allah, semoga saja tidak ada yang buruk setelah kejadian ini.

Amore Incondizionato (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang