"Jodoh itu bukan soal siapa yang menjaganya lebih lama, tapi soal siapa yang ditakdirkan oleh-Nya untuk hidup bersama."
Mas Ares kok belum pulang juga ya? Ini tumben banget kan aku nyariin dia? Iya, soalnya aku boseeen banget! Bayangin aja, setiap hari kerjaan aku cuma nonton TV, main game, lihat-lihat online shop di instagram, dan joget-joget ngikutin dance practice idol Korea. Produktif banget gak tuh? Udah mana Kak Fandy juga dua hari lalu baru aja pamitan buat naik gunung jadi sekarang gak bisa dihubungin dan otomatis aku jadi gak ada teman chat. Susah ya punya gebetan anak gunung? Suka menghilang di waktu-waktu tertentu kayak teman pas ditagih hutang.
"Ma, Mas Ares kok belum pulang ya?" tanyaku pada Mama yang sedang menonton sinetron Dunia Kejungkil kesukaannya. Gara-gara sinetron itu mamaku sempet bikin heboh seisi rumah karena tiba-tiba minta dibikinin paspor buat ke Arab. Kirain kita mah mau ketemu raja Arab, eh gak tahunya mau jadi TKW. Kan ngaco banget emang mamaku mah. Heran kadang sama si Mama, udah berumur tapi masih aja jadi korban sinetron.
"Tumben kamu nanyain Ares?" tanya Mama balik.
"Bosen aja gak ada teman ribut," jawabku sekenanya. Emang benar sih, kalau ada Mas Ares kan seenggaknya aku pasti ada kerjaan. Kerjain dia hehehe.
"Bilang aja kamu kangen," cibir Mama. Ya oke lah yang itu kuiyain juga mumpung gak di depan Mas Ares. Bisa besar kepala Mas Ares kalau tahu aku kangen dia.
"Ma, dulu Mama sama Papa gimana ceritanya sih kok bisa sampai nikah?"
Mama membalikkan tubuhnya menatapku. Sepertinya dia tertarik dengan obrolan ini. Kapan lagi aku bisa mengalihkan perhatian Mama kalau lagi nonton sinetron? Daritadi aja aku ngomong mata dia mah tetap ke TV.
"Kamu mau nikah?"
"Dih, ya kali, Ma! Jodoh aja belum kelihatan hilalnya. Aku tanya doang, Mama."
"Hmm... dulu papamu itu licik. Bukannya mendekati Mama tapi mendekati Kakek. Ya iya sih dia mah memang cocoknya gaul sama yang tua-tua. Bisaan banget dia ambil hati Kakek sama Nenek kamu dulu. Kalau waktu itu dia langsung mendekati Mama mah kalian gak bakal ada kali. Mana tertarik Mama sama cowok model penggaris kayu gitu. Lempeng dan kaku."
Aku tak bisa menahan tawaku. Mama nih kalau ngomong mulutnya memang suka gak disaring lagi. Asbun alias asal bunyi.
"Durhaka ih Mama sama Papa."
"Tapi bener, Sa. Dulu kirain Mama kakunya Papa itu gimmick doang eh tahunya permanen. Lenturnya kalau senam malam doang tuh makanya sampai bisa jebol kalian berdua."
"Ya Allah, Mama!" Aku sampai megangin perutku gara-gara kebanyakan ketawa. Pedih banget ya nasib papaku punya istri sama anak durhaka begini. Suka ngomongin di belakang.
"Ah tapi Mama ujung-ujungnya suka juga kan sama Papa," godaku.
"Wah, bukan suka lagi, Sa. Cinta! Perempuan mana sih, Sa, yang gak luluh kalau seegois apapun dirinya, lelakinya tetap sabar dan gak pernah meninggikan suara di depan kita? Bodo amat biar dikata Papa kamu baku banget macam kamus berjalan juga sekarang mah Mama tetep sayang."
Aku mengangguk mengerti. Selama hampir dua puluh satu tahun aku hidup sebagai putri bungsu dalam keluarga ini, belum pernah sekali pun aku lihat Papa memarahi Mama atau Mama menangis karena Papa. Sekalipun pernah aku lihat mereka bertengkar, Papa pasti lebih memilih mengalah. Atau kalau memang Mama yang salah namun tetap ngotot saat ditegur, Papa pasti lebih memilih diam. Namun yang hebat adalah 'diamnya' Papa itu justru bisa membuat kita merasa bersalah.
Duh, ya Tuhan, kapan ya punya suami kayak Papa? Tapi gak usah yang baku banget kayak Papa juga yaa.
"Terus dulu Mama dilamar sama Papa gimana, Ma? Romantis ga?" tanyaku lagi. Kayaknya kisah cinta Mama dan Papa menarik buat dikepoin.
"Boro-boro romantis Ya Allah yang ada bikin jantungan. Papamu itu tahu-tahu bawa orang tuanya ke rumah buat melamar Mama secara resmi padahal sebelumnya dia gak ada omongan apa-apa. Gimana Mama gak kaget tahu-tahu langsung ada pertemuan dua keluarga begitu. Kayaknya papamu itu sengaja biar Mama gak bisa nolak."
Hmm sekarang aku tahu kenapa Mas Ares suka licik, ternyata sifatnya itu menurun dari Papa toh. Si dewa tipu muslihat.
"Dulu mungkin Mama gak suka sama Papa kamu, tapi sekarang kalau dipikir-pikir lagi seandainya bukan Papa kamu yang nikahin Mama apa iya orang itu bakal sanggup hidup berumah tangga sama Mama?"
Aku diam. Ikut memikirkan pertanyaan Mama. Kalau seandainya Mama dan Papa gak menikah, aku pun gak akan bisa menikmati kehidupan seperti sekarang ini.
"Sebelum punya anak, Mama itu bisa dibilang jahat banget sama Papa. Boro-boro mau melayani dia layaknya seorang istri, papamu pulang kerja aja Mama belum tentu ada di rumah. Sampai akhirnya kakekmu marah sama Mama. Beliau bilang, 'Apa susahnya sih kamu terima si Sahid sebagai suamimu? Dia bahkan bisa nerima kamu meski kamu kasih makan dia racun sekali pun!' Waktu itu Mama masih ngeyel. Malahan Mama mau ngebuktiin kalau omongan Kakek itu salah. Mama yakin gak ada cinta yang sampai sebegitunya. Akhirnya Mama masak buat Papa kamu tapi bumbunya asal-asalan. Mama yakin banget sekali suapan juga pasti papamu langsung muntah, tapi ternyata Mama salah. Papamu menghabiskan masakan yang Mama buat. Waktu Mama tanya alasannya, dia dengan santai menjawab, 'Ini pertama kalinya kamu masak buat saya. Bagi saya yang penting bukan rasa masakannya, tapi rasa pedulimu yang sudah mau membuatkan saya makanan. Terima kasih, Reva.' Ya Allah, Mama malu, Sa." Cerita Mama terhenti karena air mata yang menetes dari sudut matanya. Aku pun mengulurkan tanganku mengusap punggung Mama. Aku tak pernah tahu kalau pernikahan Mama dan Papa pernah melewati masa sulit seperti itu. Happily ever after itu memang cuma nyata di dongeng. Sedang di dunia nyata, happily ever after hanyalah mitos.
Setelah yakin tak ada jejak-jejak air mata di pipinya, Mama kembali melanjutkan. "Kadang, sesuatu yang kita sukai itu belum tentu yang kita butuhkan menurut Tuhan. Namun kadang sesuatu yang kita tolak mati-matian justru itulah yang terbaik untuk kita. Kita lebih sering menyalahkan Tuhan atas keinginan kita yang tak terkabul dan melupakan semua nikmat yang telah Dia berikan dengan percuma. Manusia itu kadang lucu ya."
Mataku berbinar menatap Mama. Aku beneran gak ngedip waktu Mama ngomong begitu. "MasyaAllah mamaku, baru seminggu ikut pengajian di Kelurahan otaknya udah kembali ke jalan yang lurus ya? Alhamdulillah Ya Allah. Bisa kali, Ma, kalau gitu uang jajan aku dinaikin sebagai bentuk rasa syukur?" candaku supaya Mama gak sedih lagi. Semua orang punya masa lalu. Lagipula setiap orang berhak memiliki masa depan yang cerah, kan?
Mama langsung menggeplak kepalaku dengan bantal. "Gak ada!"
"Ish, pelit."
"Assalamualaikum." Aku dan Mama sama-sama menoleh ke sumber suara. Rupanya Mas Ares baru pulang.
"Wa'alaikumsalam." Mas Ares kemudian mengecup punggung tangan Mama. Aku pun ikut-ikutan menaikan tanganku supaya dia salim padaku juga, namun alih-alih cium tangan yang ada punggung tanganku ditabok sama dia sampai kenceng banget.
"Sakit mon─" Aku tidak menyelesaikan kalimatku. Aku lupa ada Mama disini. Bisa dipangkas habis uang jajanku kalau sampai dia denger aku ngeluarin seisi kebun binatang dari mulutku.
"Apa? Mon apa? Moncongmu busuk?" Mas Ares malah sengaja menggodaku. Aku cuma bisa mengerucutkan bibirku sebal karena tidak bisa membalasnya di depan Mama.
Dasar keturunan licik, umpatku dalam hati yang saat itu lupa kalau aku juga hasil dari kemahiran Papa mencetak gol.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
CRUSH
Teen Fiction[Complete] Buat seorang Sandy, menyukai Fandy adalah rutinitasnya. Ya, Sandy terbiasa menyukai updatean statusnya, postingan instagramnya, sampai momment pathnya. Pokoknya Sandy menyukai apapun tentang Fandy. Bagi Sandy perbedaan nama mereka yang cu...