"Rasanya menyakitkan ketika kau tahu orang yang kau perjuangkan hanya menganggapmu tempat persinggahan."
Niat hati ingin menanyakan soal sikapnya yang tiba-tiba berubah kemarin, namun kenyataannya Pak Deva justru hari ini tidak datang. Kata Mbak Dwi sih Pak Deva lagi berkunjung ke cabang kampus kami yang ada di Tangerang. Ah, ya sudahlah, dia kan orang sibuk. Pertanyaanku sendiri bukan hal yang penting.
Saat sedang santai di jam istirahat sambil menikmati sebungkus mie ayam yang kubawa ke dalam ruangan, ponselku berbunyi menandakan ada panggilan masuk. Aku buru-buru menjawabnya begitu kulihat nama Kak Fandy yang tertera di layar ponsel. Iya, alhamdulillah nih orang otaknya sudah waras. Dugaanku benar kemarin dia kecapekan karena sudah beberapa hari lembur makanya jadi moody.
"Halo, kwenapha Ka?" tanyaku dengan mulut yang masih mengunyah.
"Di telan dulu makanannya, Sa. Jangan ngomong sambil makan." Aku tersipu mendengar jawaban Kak Fandy. Aku nih jadi cewek kok malu-maluin amat ya?
"Udah. Kenapa, Kak?" tanyaku lagi setelah mulutku sudah kosong.
"Nanti kamu pulang jam berapa?"
"Sekitar jam lima sore, Kak."
"Hmm... ikut aku mau nggak? Aku ada tiket nonton drama musikal gitu di kampus teman. Mulainya sih dari jam empat, tapi gak apa-apa kita datangnya rada telat aja setelah pulang kerja."
"Mau, Kak, mau banget!" Kalau sama Kak Fandy mah diajak kemana juga hayok deh. Jangankan nonton drama musikal, nonton banjir di TV juga aku mau.
"Nanti aku jemput kamu ya. Kirimin alamat lengkap kampusmu ke line aku."
"Siap, Kak."
"Sampai ketemu nanti ya."
"Oke!"
Aku masih tersenyum lebar meski sambungan telepon sudah berakhir. Kurasakan degup jantungku yang berdebar-debar gak karuan. Duh, gak tahu deh mau ngegambarinnya kayak gimana. Kalian pernah gak sih suka sama orang sampai benar-benar suka gitu? Terus dari yang cuma berjuang sepihak, sekarang usaha kamu mulai berbalas. Gimana rasanya? Udah bukan ratusan kupu-kupu lagi deh yang terbang di perut, tapi ribuan. Nah, itu yang aku rasakan sekarang!
Baru mau melanjutkan makan, ponselku berdering lagi. Apa jangan-jangan Kak Fandy lagi ya?
"Halo ada apa, Kak?" tanyaku langsung.
"Ini saya." Eh? Suaranya kok beda. Aku menjauhkan ponselku dari telinga untuk melihat nama yang tertera di layar. Rupanya ini Pak Deva, bukan Kak Fandy. Aataga! Malu banget aku!
"Iya, lidah saya kelibet, Pak. Maksudnya mau bilang 'Pak' eh jadi 'Kak' hehehe." Ngeles aja dulu lah yaa.
"Selesai jam kerja nanti bisa temui saya di restoran dekat kampus yang ada di ujung pertigaan jalan?"
Aku diam. Ada perlu apa ya kira-kira sampai Pak Deva mengajakku bertemu di luar kampus begini? Tapi aku kan sudah ada janji dengan Kak Fandy. Lagian kalau memang ada yang ingin Pak Deva bicarakan padaku kenapa gak besok aja disini?
"Jam setengah lima saya sudah di sana. Sampai jumpa."
"Halo, Pak? Pak saya belom bilang iya loh, Pak?!" Ish! Mentang-mentang atasan, dia jadi berlaku bossy ke aku. Jadi ini sifat aslinya sekarang? Oke!
Aku pun kemudian mengirimkan pesan pada Kak Fandy yang berisi alamat, namun bukan alamat kampusku melainkan alamat restoran tempatku dan Pak Deva nanti bertemu. Biar lebih cepat sekalian saja Kak Fandy menjemputku disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRUSH
Teen Fiction[Complete] Buat seorang Sandy, menyukai Fandy adalah rutinitasnya. Ya, Sandy terbiasa menyukai updatean statusnya, postingan instagramnya, sampai momment pathnya. Pokoknya Sandy menyukai apapun tentang Fandy. Bagi Sandy perbedaan nama mereka yang cu...