5. Cinta Datang Terlambat

7.7K 920 21
                                    

"Selalu, semua terasa begitu berharga justru setelah terlepas dari genggaman."

Senin pagiku benar-benar terasa begitu indah. Tahu gak kenapa? Soalnya aku udah masuk liburan semester, yeay!Lumayan, satu bulan ke depan aku gak ketemu dosen ngeselin, gak perlu begadangin tugas, gak perlu lari-lari ngejar masuk kelas kalau kebetulan aku telat datangnya. Gak perlu numpang bobo cantik di kosan teman kalau badan udah benar-benar sakit gak kuat buat jalan.

"Segar amat tuh muka kayak sop buah," tegur Mas Ares di meja makan. Wah, jelas segar dong! Akhirnya setelah penantian berharga selama berbulan-bulan aku bisa menemukan kembali jam tidur idealku yang hilang dan terenggut. Setidaknya dari zombie yang kurang tidur sekarang statusku naik jadi zomblo yang kurang pasangan. Eh, tunggu, kok malah kayak makin menyedihkan ya?

Aku mengibaskan rambut yang baru saja kucuci pagi ini ke hadapan Mas Ares. "Iri aja lu sama kecantikan gue," jawabku gak nyambung.

"Puih!" Mas Ares langsung buang muka sambil berlaga membuang ludah. Hahaha nyesel pasti dia udah negur aku. "Kuliah jam berapa lu? Bareng ga?"

"Gue udah libur, Mas."

"Pantes aja mukanya segar!" cibir Mas Ares lagi. Mahasiswa tuh gitu ya, giliran kuliah layu, giliran libur mah segar. Padahal kan aku kalau libur gini malah gak ada kegiatan, kecuali iseng liburan ke rumah Bibi yang di Bogor.

"Sandy sudah libur?" Kali ini papaku yang bertanya dan aku pun menganggukkan kepala antusias. "Nanti bisa tolong Papa isi rapor?" Aku langsung menaruh keempat jariku di samping kening bak orang yang sedang melakukan hormat saat upacara.

Papaku itu seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu Sekolah Menengah Pertama. Murid Papa itu ajaib banget. Aku kalau datang kesana buat ketemu Papa kadang digodain sama mereka. Ya Allah coba kalian bayangkan anak SMP zaman sekarang udah berani menggoda mahasiswi. Dulu aku waktu kelas satu SMP mah masih suka ngumpulin hadiah snack, boro-boro kepikiran buat godain anak orang.

Nah kebetulan selain sebagai guru pelajaran Bahasa Indonesia, papaku juga jadi wali kelas di salah satu kelas delapan. Yang unik dan jadi ciri khas Papa itu... ngomongnya baku banget! Benar-benar sesuai ejaan KBBI. Gak heran deh makanya kalau dia jadi guru bahasa. Tata bicaranya rapi dan teratur banget. Sama keluarga sendiri aja begitu. Aku gak kebayang sih dulu waktu Papa melamar Mama kayak gimana.

"Kepada yang terhormat, saudari Reva Febriani, sudikah kiranya engkau membina hubungan rumah tangga bersama saya?"

Aku suka ketawa-ketawa sendiri kalau membayangkan Papa ngomong begitu ke Mama. Durhaka sekali aku ini!

"Sa, tolongin Mama dong. Tolong anterin pancake ini ke rumah Tante Inka," ujar Mama tiba-tiba sambil memasukkan beberapa potong pancake ke dalam wadah penyimpan makanan.

Tante Inka? Berarti ke tempat Kak Raisya dong? Aku melirik Mas Ares yang pura-pura gak dengar ucapan Mama. Hmm, sok gak punya kuping kamu, Mas! Perlu dibikin kaget nih orang kayaknya. "Suruh Mas Ares aja, Ma." Benar saja setelah aku selesai bicara Mas Ares langsung keselek kopi susu yang sedang diminumnya.

"Kok gue sih, Sa? Lu yang disuruh Mama juga!"

"Lu mau berangkat kerja kan? Nah ya sudah sekalian lewat lah, Mas," alibiku. Aku melirik Mama kemudian mengedipkan sebelah mataku sebagai kode agar Mama mendukungku. Untunglah mamaku itu sangat peka.

"Oh iya bener, ya udah Ares tolongin Mama yaa. Nih pancake-nya, ini cokelat cair buat topping-nya." Mama kemudian menyerahkan dua kotak makan yang berbeda kepada Mas Ares. Mas Ares melirikku sinis sedang aku hanya tersenyum dan menaikkan sebelah alisku menggodanya. Kena kamu, Mas!

"Udah sana buruan, Mas, nanti keburu mereka pada keluar rumah."

"Awas lu, Sa!" ancam Mas Ares yang malah membuatku semakin tergelak.

"Uuh, takuut!, ledekku. Dasar! Sudah tua masih aja kayak bocah kelakuannya suka asal mengancam. Sebagai adik yang baik, aku mengiringi setiap langkah Mas Ares dengan tawa riang. Syukurin!

"Ya sudah, Papa juga berangkat bekerja dahulu ya."

Aku manggut-manggut sambil mencium tangan Papa, sementara Mama mengantar Papa sampai ke depan teras. Begitu kembali, Mama langsung menepuk bahuku pelan. "Ares ada masalah apa lagi sih sama Raisya?"

Mendengar pertanyaan Mama aku jadi ketawa terbahak-bahak. Mamaku ini memang benar-benar deh. Kalau sudah penasaran, harus cari jawabannya sampai ke akar.

"Biasalah, Ma. Masalah hati," jawabku sambil memasukkan seiris pancake buatan Mama ke dalam mulutku.

"Raisya masih belum maafin Ares ya, Sa?"

Aku menggelengkan kepalaku. Terbuat dari apa kali hati Kak Raisya kalau sampai bisa maafin Mas Ares begitu mudahnya? Aku kalau di posisi Kak Raisya juga pasti gak bakal mau lihat muka Mas Ares lagi kali. Nyakitinnya kelewat batas. Tapi, berhubung Mas Ares ini saudara kandungku dan aku juga tahu dia benar-benar sudah menyesali perbuatannya, aku berharap Kak Raisya luluh hatinya dan mau memaafkan Mas Ares.

"Padahal Mama pengin loh besanan sama Tante Inka."

"Ya aku juga mau, Ma, punya kakak ipar kayak Kak Raisya. Udah cantik, baik, supel, pokoknya paket komplit deh orangnya."

Sayang, keinginan kami itu mungkin masih belum bisa terwujud dalam waktu dekat sebab hubungan Mas Ares dan Kak Raisya yang merenggang. Kadang lucu ya, hanya karena ada yang lebih menarik kita melupakan orang yang sudah rela jungkir balik untuk kita. Saat orang itu sudah pergi, kita baru sibuk mencari. Itulah yang Mas Ares lakukan pada Kak Raisya. Memang sih ada pepatah yang bilang lebih baik terlambat daripada gak sama sekali, tapi kalau bisa datang lebih awal kenapa harus terlambat?

***

To be continue

CRUSH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang