Pertandingan sepak bola antara kelas 11 IPA 5 dan 11 IPA 7 pun selesai. Dan pastinya dimenangkan oleh kelas 11 IPA 5. Mereka pun bersorak-sorak bangga.
Tifa langsung melirik ke arah Putra yang sedang melihat ke arahnya. "Cemen loo," kata Tifa dengan mulut tak bersuara dan mengarahkan jempolnya ke bawah. Sedangkan Putra hanya menyengir saja.
"Gue sama Ata ganti baju dulu. Lo berdua nunggu di parkiran aja." perintah Dion kepada Tifa dan Lala.
Tifa dan Lala pun langsung berjalan meninggalkan lapangan utama menuju ke parkiran.
------
"Selamat ya bro. Lo pada menang," Putra menghampiri Ata dan Dion setelah mereka selesai mengganti baju.
Mata Dion hanya menyipit melihat Putra dan tak menggubris perkataan Putra.
"Makasih bro. Kita emang jago," ucap Ata membanggakan diri.
"Anjir. Songong amat lo. Hahaha.." balas Putra sambil tertawa.
"Kita cabut dulu." seru Dion dan langsung berjalan meninggalkan Putra.
------
"Panas banget harinya ya Allah," gerutu Tifa sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
"Woii.." Dion dan Ata pun datang menghampiri Tifa dan Lala.
"Gue sama lo kan, Ta?" tanya Tifa.
"Yaiyalah. Gue kan mang ojek langganan lo,"
"Lo sama gue, La." ucap Dion kepada Lala.
Setelah pertandingan tadi selesai, ternyata perut mereka keroncongan kembali. Akhirnya mereka memutuskan untuk makan ke Kafe langganan mereka.
"Gue kerenkan tadi maennya, Faa." seru Ata setelah mereka keluar dari gerbang sekolah dan menuju ke kafe Mori menggunakan sepeda motor Ata.
"B aja keles," ucap Tifa sambil memukul pelan helm yang di pakai Ata.
"Ah serius lo? Buktinya tadi cewek-cewek banyak yang teriakin nama gue,"
"Pede amat lo sumpah. Kerenan Dion lah daripada lo,"
"Ah, lo mah gitu. Depan gue mujinya Dion. Tapi pas depan Dion, lo pasti muji gue kan!"
"Yaa.. Semerdeka lo ajalah. Yang penting lo bahagia. Kan kasian lo gak pernah bahagia," ucap Tifa sambil tertawa.
"Gue selalu bahagia ya, Fa. Dan selalu membuat orang lain bahagia juga. Hehehe.." Betul yang Ata katakan. Ia emang selalu bahagia dan pastinya juga ia selalu bisa membuat orang lain bahagia. Seperti ia membuat Tifa dan sahabat-sahabatnya bahagia.
Tifa tersenyum.
"Karena kebahagiaan itu selalu ada dimana-mana, Fa. Bukan hanya ada di satu tempat. Percaya sama gue. Dan kebahagiaan itu bisa lo dapat dari siapa aja, bukan hanya dari satu orang."
Ya. Tifa sangat mengerti maksud dari perkataan Ata.
Ata tak mau melihat Tifa bersedih, karena bagaimana pun, ia sayang sama Tifa, karena Tifa adalah sahabatnya. Makanya sebisa mungkin Ata akan selalu membuat Tifa tersenyum dan melupakan masalah-masalah yang menimpanya.
"Gue terharu dengan perkataan lo, Ta. Hiks..." ucap Tifa berpura-pura terharu dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Ata.
"Yaelah.. Gue serius kali, Faa."
Dan Tifa pun tertawa.
------
"Laa, Tifa ada cerita ke lo tentang Putra?" tanya Dion kepada Lala ketika mereka menuju Kafe Mori menggunakan sepeda motor Dion.
"Hmm.. Ada, Yon. Kenapa?"
"Gakpapa. Gue cuman penasaran aja kenapa si Putra sering banget ngeliatin Tifa,"
"Lo cemburu yaa? Hahaha.." goda Lala.
"Kagak. Gue takut aja tu anak macam-macam,"
"Ciee.. Abang Dion khawatir ya sama Tifa," Lagi-lagi Lala menggodanya.
"Ya namanya Tifa sahabat kita, La. Masaan lo gk takut kalau si Putra ada niatan jelek ke Tifa"
"Huss.. Lo jangan ngomong gitulah. Lagian Tifa kan gak deket sama Putra. Selama masih ada kita, Tifa pasti aman." seru Lala dengan yakin.
Lalu Dion hanya diam tak membalas perkataan Lala. 'Semoga aja', batin Dion.
Dion juga tidak tau kenapa ia merasa ada yang tak beres dari Putra. Setelah mendengar berbagai gosip tak baik tentang Putra dan setelah melihat Putra sering sekali melirik ke arah Tifa.
------
"Buruan mesennya, Laa. Gue laper banget nii," ujar Tifa kepada Lala yang masih sibuk memilih makanannya.
Lala emang selalu begitu. Ia akan menjadi orang yang paling lama dalam hal memilih makanan. Sehingga Tifa, Ata, dan Dion harus sabar-sabar menunggu.
"Buset. Lama amat lo, La. Yaudah mbak nasi goreng spesial aja deh buat dia!" Dengan sesuka hati, Ata langsung saja menyebutkan pesanan buat Lala. Karena perutnya sudah tak sabar lagi.
"Ih, Taaaa.. Gue lagi gak pengen nasi goreng. Gue gak mau ahh. Lo kok gitu sih!" gerutu Lala kepada Ata.
"Bodo amat. Lo lama amat mesennya. Palingan nanti lo abisin juga tu nasi goreng,"
Tifa dan Dion hanya tertawa mendengar perdebatan singkat tersebut. Lala pun memanyunkan bibirnya. "Tau ah. Males gue sama lo," ucap Lala.
"Udah, Laa. Makanya lain kali kalau mesen itu cepetan. Kita kan udah pada lapar. Hahaha.." seru Tifa lalu tertawa.
------
Setelah mengembalikan isi perut mereka, mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Seperti biasa, Tifa diantar oleh Ata karena arah rumah mereka yang sejalan dan Lala diantar oleh Dion karena arah rumahnya yang sejalan.
Tifa telah menceritakan semua tentang yang telah dialaminya dengan Putra kepada sahabat-sahabatnya. Dan itu semakin membuat Dion tak suka kepada Putra.
"Gimana kalau Putra beneran suka sama lo ya, Fa?" tanya Ata.
"Ya mana mau gue!" tolak Tifa mentah-mentah.
"Ya siapatau dengan adanya sosok Putra di kehidupan lo, lo bisa ngelupain dia, Faa."
DEG.
"Gue udah lupa sama dia, Ta", ucap Tifa dingin.
"Maaf."
Tifa hanya terdiam.
'Aduh mampus gue. Pake kelepasan segala lagi bawa-bawa si dia.' gerutu Ata dalam hati.
Tifa paling tidak suka kalau ada pembicaraan yang berhubungan dengan dia.
Karena bagi Tifa, sudah cukup penantiannya selama ini. Ia sudah lelah. Karena hati juga tau kapan harus berhenti.
------
"Faa, maaf. Gue kelepasan. Mulut gue jahil amat," Tifa dan Ata sudah sampai didepan rumah Tifa.
"Males gue. Sono lo pergi!" usir Tifa.
"Yaah, masaan gue diusir. Gak disuruh mampir dulu gitu? Gue tiba-tiba haus lagi nii,"
"Lo mau ditendang sama papa gue?" ancam Tifa.
"Eh.. Gak deh. Makasih. Mending gue pulang aja. Yaudah gue pamit ya. Sekali lagi maafin mulut gue," Lalu Ata pun langsung menyalakan sepeda motornya dan pergi meninggalkan rumah Tifa.
"Gimana coba gue bisa marah sama lo, Ta." ucap Tifa setelah Ata berlalu.
******
Hai semuaa..
Semoga kalian suka ya sama cerita aku. Hehe..Jangan lupa vote dan coment yaa.
Terimakasih:)-Pije-
KAMU SEDANG MEMBACA
Darkness
Teen FictionTerima kasih atas pedang yang telah lo tancapkan. Terima kasih telah memulihkan lalu menghancurkan kembali. Terima kasih karena lo berhasil membuat hati gue mati. Gue harap lo gk akan kembali lagi.