"PUTRA, KAMU KOK ADA DI KELAS INI?" amuk Pak Samsul sambil memukulkan rol kayu ke atas meja yang membuat semua murid di kelas 11 IPA 5 terkejut.
Sebenarnya mereka sudah tau kalau Putra ada di dalam kelas ini, tetapi mereka sama sekali tak protes. Bagi para cewek, ini adalah kesempatan emas karena bisa terus melihat ketampanan Putra. Namun, bagi para cowok ini sama sekali tak berguna.
'Aduh.. Baru dibilang kan. Udah ketawan aja gue.' seru Putra dalam hati.
"A.. Anu, Pak. Sa.. Saya.." ucap Putra terbata-bata.
"Ana anu ana anu. Keluar kamu dan bersihkan toilet sekarang juga. Setelah itu kamu jumpai saya, akan saya laporkan kamu ke papa kamu,"
"I.. Iya, Pak.." Putra pun keluar dari kelas Tifa dan menuju ke toilet untuk menjalankan hukumannya.
Seperti inilah Pak Samsul. Yang membuat siswa-siswi sangat takut kepadanya selain ia sangat kejam, ia sangat suka melaporkan kelakuan para siswa-siswi kepada kepala sekolah. Udah galak, suka ngadu pulak. Itulah kata-kata kebanyakan siswa-siswi. Sampai Putra pun tak berani kalau sudah berhubungan dengan Pak Samsul.
Tapi hari ini, "tamatlah riwayat gue!" seru Putra sambil menepuk jidatnya.
Ia bisa diceramahin habis-habisan kalau sempat papanya mengetahui kejadian ini. Bisa-bisa ia mendapat hukuman lagi dari papanya.
Dengan sangat malas Putra pun terpaksa menjalankam hukuman dari Pak Samsul.
"Gila, males amat gue dihukum beginian. Gak ada hukuman lain apa?!" gerutu Putra.
"Lama amat sih ini siapnya. Capek gue!" ucap Putra sambil mengepel lantai luar kamar mandi.
"Ya Allah, tolongin hamba. Hamba lelah ya Allah. Pak Samsul kejam banget ya Allah," Putra berdo'a dengan suara yang disedih-sedihkan. Berharap ada seseorang yang akan membantunya menyelesaikan hukumannya ini.
"Mampus lo kan. Hahaha.." Tiba-tiba Ata datang dan langsung menertawakan Putra.
"Makanya, jangan caper lo didepan Tifa. Sampek-sampek bolos dari kelas lo. Kenak kan lo. Hahaha.." ejek Ata dengan semangat sambil terbahak-bahak.
"Anjir lo. Pergi sana!" usir Putra.
"Yaudah, ini gue mau pergi. Udah puas juga gue ngetawain lo. Yang bersih ya bang ngepelnya," lalu Ata pun pergi meninggalkan Putra.
"Sialan si Ata. Bukannya nolongin gue, mala ngetawain."
------
Setelah selesai mengerjakan hukumannya, Putra pun berencana mengisi perutnya yang sudah sangat lapar terlebih dahulu, baru setelah itu ia akan menemui Pak Samsul.
"Hai, Faa.." sapa Putra ketika melihat Tifa sedang makan bersama teman-temannya di kantin.
"Enak dihukum?" sindir Tifa dengan wajah sinis.
"Y..ya enggaklah. Hehe.." Putra hanya menyegir saja. Tifa pun tak menanggapinya lagi.
"Emang enak dihukum Pak Samsul," sindir Ata.
Putra tak memperdulikannya. Ia pun segera memesan makanannya dan mengisi perutnya yang sangat keroncongan.
"Gila si Putra ya. Makin gencar aja dia ngedeketin lo, Fa." seru Lala.
"Jangan mau deket sama dia ya, Fa." ucap Dion kepada Tifa yang membuat mereka bertiga terpelongok.
"Lo cemburu, Yon?" tanya Lala.
"Gue cuman gak mau sahabat gue dipermainkan sama dia," jawab Dion.
"Gue juga gak mau sama Putra kok. Kalian selo aja. Hati gue dah mati," ujar Tifa dengan senyum sinis.
"Guys, balik ke kelas yok. Udah kenyang gue," Lala mengajak mereka bertiga kembali ke kelas. Sebenarnya Lala hanya mengalihkan pembicaraan Tifa. Ia tak mau melihat Tifa kembali mengingat masa lalunya.
------
KRING KRINGG
Bel tanda pulang sekolah pun berbunyi. Putra sudah menunggu di depan kelas Tifa. Ya, itu sudah biasa.
"Gak capek apa lo tiap hari nungguin gue terus?!" ucap Tifa kepada Putra.
"Kalau untuk lo, gue gak bakalan capek. Gue akan terus nungguin lo sampek kapan pun kok,"
"Basi!"
"Pulang bareng gue ya, Fa."
Selalu itu kalimat yang Putra ucapkan setiap pulang sekolah.
"Ogah!"
Dan selalu itu balasan yang diucapkan oleh Tifa.
Putra tersenyum. 'Mungkin bukan hari ini, Fa. Tapi suatu hari nanti gue yakin pasti lo mau.' batin Putra.
Lalu Tifa, Lala, Dion, dan Ata pun berjalan keluar dari kelas.
"Sabar ya, Put. Belum waktunya," seru Lala sambil menepuk bahu Putra.
Dan Putra hanya membalas ucapan Lala dengan tersenyum.
------
"Assalamu'alaikum. Tifa pulang,"
"Wa'alaikumsalam. Sayangnya mama udah pulang. Kamu laper gak? Mama siapin makan siang ya," ujar Gisa.
"Laper banget, maa. Tifa ganti baju dulu di kamar ya, ma."
"Yaudah. Siap itu langsung ke ruang makan ya sayang,"
"Siap laksanakan tuan puteri!" ucap Tifa dengan suara tegas.
"Hahaha.. Kamulah tuan puterinya. Tuan puteri mama," seru Gisa dengan senyuman yang sangat tulus.
"Tifa sayang mama! Muah.." Tifa mencium pipi Gisa.
"Mama juga sayang banget sama Tifa,"
Setelah itu, Tifa pun langsung berjalan menuju kamarnya untuk mengganti seragam sekolahnya.
Ketika ia membuka lemari pakaiannya dan memilih baju yang akan dipakainya, tiba-tiba selembar kertas terjatuh dari selipan baju-bajunya.
Tifa pun mengambil kertas tersebut. Nafas Tifa tiba-tiba tercekat ketika melihat isi dari kertas tersebut. Kertas tersebut ternyata adalah sebuah foto. Foto dua orang yang sedang duduk di pinggir pantai dengan senyum yang sangat lebar, menandakan bahwa mereka sangat bahagia.
Sang wanita dengan rambut panjangnya yang berantakan karena tertiup angin, dan sang pria yang sedang melihat kearah wanita tersebut. Mengukir kebahagiaan yang sangat jelas terlihat dari wajah mereka. Ditambah matahari yang mulai terbenam dan langit yang berwarna kemerah-merahan, menambah pancaran keindahan dari foto tersebut.
Tifa terdiam cukup lama memandang foto tersebut. Ia tak menyangka. Ia tak tau bahwa foto tersebut masih ada di dalam lemarinya. Dada Tifa mulai sesak. Matanya menjadi panas. Bibirnya bergetar tak mampu untuk mengeluarkan suara. Namun, sekuat mungkin ia tahan agar ia tak menangis. Tifa sudah bertekad bahwa ia tidak akan menangis karena hal yang berhubungan dengan itu lagi.
Tifa tersenyum miris melihat foto itu. Namun, matanya menyorotkan kesedihan yang sangat mendalam.
"Lo dimana? Gue kangen."
Satu kalimat yang berhasil Tifa ucapkan dan berhasil meloloskan setetes air mata yang jatuh dari matanya.
"Tifa.. Ayo buruan ganti bajunya," teriak Gisa dari luar kamar yang sukses membuat Tifa tersontak dan langsung menghapus air matanya.
'Mungkin ini satu-satunya yang tersisa.' ucap Tifa dalam hati dan memasukkan kembali foto itu diselipan baju-bajunya.
Tifa buru-buru mengganti bajunya dan segera menuju ruang makan.
"Yuk makan, ma. Tifa Laper banget."
Senyum Tifa kembali terukir ketika melihat wajah Gisa yang selalu bisa membuat hatinya menjadi tenang.
******
Baca terus kelanjutan ceritanya yaaa...
-Pije-
KAMU SEDANG MEMBACA
Darkness
Teen FictionTerima kasih atas pedang yang telah lo tancapkan. Terima kasih telah memulihkan lalu menghancurkan kembali. Terima kasih karena lo berhasil membuat hati gue mati. Gue harap lo gk akan kembali lagi.