Story 01 || Ayah

193 15 5
                                    

Namaku Angkasa. Sekarang masih kelas 10. Tapi, aku tidak sekecil itu jika harus menghadapi masalah dengan keluarga, teman, dan masalah percintaan. Btw, aku belum punya pacar.

Ibuku meninggal saat aku masih kecil. Kira-kira, umurku baru tujuh tahun saat itu. Jangan anggap aku salah satu korban broken home. Kepergian ibuku dan jahatnya perlakuan ayahku tidak pernah dan sama sekali tidak membuatku merasakan sedihnya broken home.

Nenekku pernah bercerita. Dulu, aku menangis setiap malam karena pukulan yang ayah berikan. Namun, ceritanya tidak pernah aku percayai. Menurutku, untuk apa menangisi hal yang tidak perlu ditangisi. Membuang air mata saja.

"Angkasa? Kamu ngapain di dalam?"

Selalu. Setiap pukul delapan lebih lima belas, nenek selalu bertanya hal yang sama. Kalimat pertanyaan tadi. Jawabanku juga selalu sama.

"Lagi nggambar."

Satu lagi, akujuga suka menggambar. Walaupun hasil menggambarku tidak terlalu bagus, tapi mading sekolah selalu terisi oleh karyaku.

"Angkasa, diluar ada ayahmu, nak."

Suara nenek kembali terdengar limabelas menit kemudian. Namun, ada yang berbeda dari suaranya, agak bergetar.

"Angkasa... Keluar, nak! Ayahmu menunggu."

Suara itu kembali terdengar. Suaranya masih berhetar. Namun kini, ditambah dengan isakan kecil di akhir kalimat.

"Suruh saja menunggu besok. Aku lagi malas untuk keluar kamar. Maaf, nek, aku tidak mau diganggu." jawabku berusaha tidak peduli.

Aku benci ayah. Dia telah merenggut kebahagiaan masa kecilku. Merenggut kasih sayang ibu dengan cara membunuh wanita yang tengah mengandung adikku saat ia tertidur. Ayahku jahat.

"Kamu tidak mau melihat ayahmu untuk terakhir kalinya?"

Deg... Jantungku seakan berhenti berdetak. Kepalaku langsung berdenyut. Pensil yang tengah ku pegang jatuh. Tubuhku lemas.

"Angkasa... Kamu benar-benar tidak mau melihat ayahmu? Begitu bencikah kamu hingga tidak mau melihatnya?"

Aku masih bingung dengan kata 'untuk terakhir kalinya'. Apakah ayah pergi untuk selamanya atau malh dia akan meninggalkan dan tidak memperdulikan aku lagi lagi untuk selamanya?

"Angkasa! Buka pintumu ini sekarang! Jangan membuat nenek marah! Ayahmu kecelakaan dan nyawanya tidak bisa diselamatkan. Kamu tidak mau menemuinya? Baiklah, terserah kamu."

Dengan ragu aku melangkah untuk membuka pintu. Nenek yang sedang menangislah yang pertama kali aku lihat.

Baru kali ini aku melihat nenek menangis. Isaknnya terdengar menyakitkan. Aku juga hampir menangis. Juga karena dua alasan. Ayah meninggalkan aku untuk selamanya dan tidak pernah kembali, juga karena melihat nenek menangis.

Untuk kedua kalinya aku merasakan hal yang sama seperti 10 tahun yang lalu. Saat ibu pergi dan ayah yang terus-menerus melampiaskan kemarahannya padaku, hingga ayah yang selalu bertengkar dengan kakek setiap malam.

Nenek menatapku dalam. Mata tuanya berair. Tetesannya juga masih terus keluar. Membuat pipi keriputnya basah.

Nenek memelukku. Sangat erat.

"Ayahmu, Angkasa. Dia pergi. Apakah kamu tidak mau menemuinya? Kamu tidak mau mengucapkan salam terakhir untuknya?" mata nenek merah. Bahuku diguncang dengan kedua tangannya yang renta.

"Nenek mohon, Angkasa! Maafkan ayahmu."

Aku terdiam.

"Kamu masih tidak mau bertemu dengan ayahmu? Kalau begitu, nenek juga akan ikut pergi bersama ayahmu."

"Nenek ngomong apa sih? Omongan nenek semuanya ngaco. Mana mungkin aku nggak mau memaafkan ayahku. Sebenci-bencinya aku ke ayah, aku masih menyimpan banyak bahkan sangat banyak kasih sayang untuknya."

"Temui dia kalau kamu memang sudah memaafkannya!"

Dengan pelan aku berjalan sambil menuntun nenek. Aku menuruni anak tangga perlahan. Hingga saat aku bisa melihat ayahku yang tengah terbaring di lantai dengan kain putih yang menutupinya. Ditambah dengan orang orang yang membacakan surat yasin di setiap sisi ayah, aku berhenti melangkah.

Kemudian, muncul bayangan masa kecilku.

Saat Ayah menggendongku sambil berputar-putar tepat di tempatnya berbaring sekarang.

Saat ayah mengajariku tugas sekolah. Sampai saat ayah menamparku untuk melampiaskan kemarahannya.

Dengan menghilangnya bayanganku tentang ayah, air mataku berdesakan untuk jatuh.

***

Nggak jelas banget kan? Ini cuman iseng-iseng aja sebernya. Hehehe

Voment yak

Today's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang