Story 12 || First Love

62 4 1
                                    

"Kak, aku udah boleh kan jatuh cinta?"

"Kamu masih kecil, Binar!"

Selalu begitu. Kak Ajist selalu memberikan alasan yang sama jika aku membahas tentang yang namanya jatuh cinta.

"Aku udah besar, Kak!"

"Besar darimana? Kamu aja masih suka manja sama Kakak."

"Ih, kan aku manjanya cuma ke Kak Ajist doang."

Kesal. Aku menyilangkan tangan di dada. Kak Ajist itu kakakku, kakak satu-satunya dan keluarga satu-satunya yang aku punya. Kedua orangtua ku telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Jadi, Kak Ajist lah yang menjadi satu-satunya pelindungku. Beruntungnya, kak Ajist masih belum perlu bekerja, harta orangtuaku masih cukup untuk memenuhi kebutuhan kita berdua.

"Tapi kan aku pengen banget ngerasain jatuh cinta, Kak."

"Nanti kamu patah hati, Binar!"

"Aku tahu. Tapi aku pengen."

Aku tahu kok kalau berani jatuh cinta itu juga harus berani patah hati. Aku sudah mempersiapkan itu semua. Tapi tetap saja Kak Ajist melarang, meskipun aku sudah berulang kali menjelaskan.

"Belum saatnya kamu jatuh cinta."

"Terus kapan?"

Aku menatap Kak Ajist yang kini malah tersenyum manis ke arahku. Ia mengusak rambutku.

"Nanti, kalau kamu udah bertemu dengan seseorang yang kak Ajist percaya untuk mencintai kamu."

Setelah mengucapkan itu, Kak Ajist pergi meninggalkanku menuju kelasnya.

***

Mau tau? Kenapa aku begitu pengen ngerasain jatuh cinta yang sepenuhnya meskipun kak Ajist terus melarangku?

Alasannya sederhana. Karena aku telah bertemu dengan orang yang aku anggap mampu menjaga cintaku.

Iya, aku telah jatuh cinta. Namun masih belum benar-benar jatuh cinta. Masih setengah-setengah. Karena aku masih mau menuruti apa perkataan kak Ajist. Meskipun sebenarnya aku sedikit tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh kak Ajist kepadaku. Tapi, apa boleh buat?

Lagian, mencintai dia segini saja, sudah cukup membuatku merasakan yang namanya berbunga-bunga.

Laki-laki itu, cinta pertamaku. Baru dia orang yang pertama kali mendapatkan perasaan cintaku. Baru dia yang merasakannya. Walaupun aku tahu, dia belum mengetahui perasaanku yang sebenarnya.

"Pagi, Binar!"

Aku menoleh. Mendapati seseorang yang baru saja aku perkenalkan.

Dia, Lingga. Laki-laki yang membuatku terus membujuk kak Ajist agar mengijinkanku jatuh cinta lebih dalam. Dia, laki-laki manis teman sekelasku. Dia, laki-laki baik yang terus menerus memenuhi pikiranku.

"Pagi!" Aku membalas sapaannya dengan senyuman lebar.

"Mau ke kelas?" tanyanya.

"Iya."

"Ya udah, ayo bareng! Tapi kita mampir ke kantin dulu, aku laper." katanya sambil merangkul pundakku.

Wajar nggak sih kalau jantungku berdebar saat diperlakukan seperti itu?

Huft... Lingga, aku tuh baper. Tahu nggak sih?

"Nanti lo pulang bareng sama kak Ajist lagi?" tanya Lingga saat kami masih dalam perjalanan menuju kantin. Dengan posisi Lingga yang masih merangkulku.

Huft. Baper.

"Iya, kenapa?"

"Gue boleh nebeng nggak?"

Today's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang