17 Agustus 2016

48 7 0
                                    

Hari ini semua siswa kelas X, XI, dan XII berkumpul di lapangan kecamatan untuk berpartisipasi dalam upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Sebagian siswa terpilih untuk menjadi tim paduan suara dalam upacara tersebut, salah satunya Adel.

Karena Adel menjadi tim paduan suara mau tidak mau Annisa terpaksa harus sendirian. Bukan berarti Annisa tidak memiliki teman, tapi hanya Adel teman yang benar-benar dekat dengannya, hanya dengan Adel dia bisa menjadi dirinya yang sesungguhnya.

Annisa memilih baris di bagian belakang di dekat beberapa mobil yang terparkir di sana, agar jika lelah setidaknya dia bisa menyandarkan tubuhnya. Berdoa saja agar mobil yang dia sandari tidak berbunyi tiba-tiba.

Kalau upacara hari kemerdekaan di Istana negara menjadi upacara yang sangat khidmat, berbeda dengan di kecamatan ini, banyak sekali pedagang makanan dan minuman yang justru terlihat lebih menarik didatangi satu psrsatu daripada harus mengikuti upacara yang terbilang membosankan.

Sebagian siswa, bukan, mungkin setengahnya sudah berhambur untuk memulai wisata kulinernya. Menyicip makanan ini dan itu yang bisanya hanya dijajakan di sekolah-sekolah dasar, ya untuk anak SMA mungkin ini bisa dibilang bernostalgia.

Upacara kemerdekaan ini mungkin bisa menjadi hari yang menyenangkan karena bisa berwisata kuliner dengan teman-teman. Tapi tidak dengan Annisa, dia hanya berdiri bersama beberapa teman sekelasnya yang asyik dengan dunia mereka sendiri, berfoto ria, bergosip, makan, bahkan ada yang sempat berpacaran meski di bawah terik matahari seperti sekarang ini.

"Kita minta uang ke siapa lagi ya? Coba ke sana kali ya siapa tau ada yang di kenal?"

Itu kan suara Dewa. Mata Annisa langsung mencari-cari dari mana suara itu berasal. I found you. Dewa sedang bersama Tristan dan tiga teman lainnya yang tidak terlalu dikenal Annisa, mereka sedang berkeliling untuk meminta uang pada beberapa orang agar bisa ikut menikmati makanan yang ada di sana.

Annisa bertemu tatap dengan Dewa. Tapi Dewa tidak menyapanya sama sekali, Dewa langsung memalingkan pandangannya ke arah lain, tidak seperti Dewa yang biasanya.

Samar-samar Annisa mendengar percakapan Dewa dan teman-temannya. "Ke Annisa aja tuh dia kan baik?" ucap Tristan yang memang suaranya cukup keras.

Mereka mau ke sini? Senyum mengembang di wajah Annisa, tapi hanya sesaat sampai dia menyadari Dewa hanya berlalu di hadapannya begitu saja. "Iya cewek mah baperan." ucap salah seorang di antara mereka, yang entah kenapa cukup mengiris hati Annisa.

Annisa menundukkan wajahnya, menatap ujung kedua sepatunya, hatinya merasa sakit melihat perubahan sikap Dewa padanya yang sangat tiba-tiba, terlebih lagi dia mendengar ucapan salah seorang teman Dewa yang menurutnya mungkin ditujukan padanya.

"Nis!" panggil Tristan.

Annisa mengangkat kepalanya malas, dan mendapati Tristan dan Dewa sedang berjalan menghampirinya atau mungkin melewatinya.

"Kata Dewa baper." teriak Tristan tanpa rasa dosa sedikitpun.

"Ha?" Annisa pura-pura tidak mendengar, dia sedang tidak ingin menanggapi sesuatu yang dia tau akan menyakiti hatinya.

"si Dewa baper katanya!!"

BUK!!

Dewa mendaratkan tinjunya di bahu Tristan. Wajahnya terlihat datar namun jelas matanya memancarkan amarah, "Apaan sih lo? Udah ah katanya mau nyamperin si Rangga." Dewa pergi lebih dulu meninggalkan Tristan yang terlihat sedang kesakitan.

Annisa hanya terdiam kaget melihat semua kejadian di depannya, hanya karena ucapan Tristan dia bisa jadi semarah itu.

~~~

Beberapa anak basket berkumpul di koridor sekedar untuk nongkrong sekaligus berunding mengenai pembuatan jersey team mengenai desainnya dan juga tempat pembuatannya.

Mereka masih menunggu kehadiran sang kapten. "Liat Ethan gak sih? Lama nih bete." celetuk Annisa yang mulai bosan menunggu.

"Gak tau deh." Jawab Dewa yang sedang duduk di samping Annisa.

"Eh gue ada coklat mau gak? Kan lumayan daripada bosen gini?" Citra mengeluarkan coklat dari dalam tasnya, dan membuka bungkusnya. Dia membagikan coklat itu pada teman-temannya di sana.

Semuanya berterima kasih dan menikmati coklat pemberian Citra. Tak ada satupun dari mereka yang mulai membicarakan sesuatu sampai Tristan buka suara, yang cukup mengusik kekhidmatan mereka menikmati coklat.

Tristan berdeham, "Ada yang cinlok tau." Matanya sengaja melirik Annisa dan Dewa yang duduk bersebelahan. "Annisa sama Dewa cinlok tau." kali ini dia tersenyum puas.

Raut wajah Dewa seketika berubah, "Apaan sih lo? Udah tau dia baper!" bentaknya.

Annisa terdiam, terpaku di tempatnya. Dadanya terasa seperti dihujam ribuan tombak.

"Ha? Apa? Lo baper?" tanya Tristan lagi pada Dewa dengan nada yang sengaja dibuat-buat.

Wajah Dewa memerah, kali ini dia terlihat sangat kesal. "Gue mah bodo amat, dia yang baper!" sergahnya sambil menunjuk Annisa. Sorry Ca.

Kali ini Tristan bungkam tak menjawab sepatah katapun, dia tak menyangka Dewa akan sangat marah.

Tak ada yang berani menanggapi Dewa, semuanya diam begitu juga dengan Annisa. Dia berusah bersikap biasa, berpura-pura tidak mendengar apapun, meski kini matanya sudah memanas.

"Gue.. Cari Ethan dulu ya." ucap Annisa terbata.

~~~

FatamorganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang