"Gue tanya Caca dulu deh, jadi bikin jersey dimana." Dewa berlari terburu-buru menyusul Annisa yang baru saja meninggalkan koridor dimana anak-anak basket sedang berkumpul menuju kelas XI IPS 1.
Dewa melihat Caca tengah asyik mengobrol dengan temannya yang diketahui Dewa bernama Radit, sebelumnya Radit sempat ikut extrakurikuler basket tapi dia lebih memilih fokus dengan olimpiadenya.
Dewa diam, bingung harus bagaimana. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya, dia tahu betul alasan Annisa ke kelas XI IPS 1 bukan untuk mencari Ethan, tapi untuk menghindarinya.
"Ca." panggil Dewa. Matanya menatap lurus pada Annisa, yang kini juga sedang menatapnya.
Annisa mengatur napasnya, berusaha bersikap senormal mungkin selayaknya tidak ada yang terjadi. "Kenapa Wa?" tanyanya sambil tersenyum, yang susah payah dia paksakan.
Ca please, gue tau lo marah. Jangan senyum kalo lo gak mau senyum. Gue gak bisa liat senyum lo yang kaya gini.
"Bikin jersey jadi gak di temen gue?" stupid.Annisa tampak berpikir sesaat, kemudian dia menjawab dengan tegas, kali ini tanpa tersenyum. "Nanti ya Wa, gue tanya dulu ke Ethan. Ethannya gak ada, gak tau kemana." Annisa langsung kembali fokus dengan Radit tanpa menghiraukan Dewa yang baru saja akan menjawabnya.
Dewa mondar-mandir di depan pintu kelas XI IPS 1, hatinya gelisah menunggu Annisa keluar dari kelas itu. Dia ingin meminta maaf dan menjelaskan maksud perkataannya barusan, tapi Annisa tidak kunjung keluar hanya sekedar untuk menghampirinya.
"Ca."
Annisa menoleh, betapa kagetnya dia melihat Dewa masih berdiri di depan pintu, padahal sudah tidak ada hal yang harus dibicarakan lagi mengenai jersey basket. "Hm?"
Keluar sebentar bisa gak? Gue mau ngomong Ca. "Gue ke kelas dulu ya?" pengecut. Dewa memaki dirinya sendiri yang tidak berani bicara apa-apa bahkan untuk mengucapkan maaf saja dia tak mampu.
Annisa tersenyum canggung, "Iya."
Wajahnya memerah seketika setelah Dewa pergi, matanya berkaca-kaca, jantungnya berdegup kencang. "Dit? Tadi dia nungguin gue?" tanyanya pada Radit.
Radit tersenyum jahil, "Kayanya sih Ca."
~~~
"Lama amat nanyain jersey doang." Tristan memperhatikan Dewa yang baru saja memasuki kelas. Dia merasa ada yang berbeda pada Dewa, tidak seperti Dewa yang biasanya selalu menanggapi celotehannya, Dewa hanya diam lalu duduk di bangkunya.
Sebenarnya Tristan merasa tidak enak pada Dewa dan Annisa, karena kejadian tadi terlebih melihat sikap Dewa sekarang ini yang tiba-tiba jadi pemurung, ya walau dasarnya Dewa memang terlihat seperti pemurung sih.
Tristan berdeham, dia mencoba untuk mengubah atmosfer yang ada di sana. "Gue tanya kok diem aja sih? Jangan bilang lo tadi abis nembak Annisa?" duh bego, kenapa malah bahas Annisa. Tristan menepuk-nepuk jidatnya perlahan, merutuki dirinya yang dirasa bodoh.
Kali ini Dewa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya pada Tristan. Dia menatapnya lurus-lurus tanpa ekspresi, padahal hatinya sudah begitu geram pada Tristan.
Tristan yang diperhatikan seperti itu menjadi salah tingkah sendiri, "Jangan ngeliatin gue gitu kali, gue tau gue gan-"
"Berisik lo." Dewa memotong ucapan Tristan dan langsung beranjak meninggalkan kelas.
Tristan tau, bahkan sangat tau kalau saat ini Dewa sedang sangat marah. Tapi dia heran kenapa dari sekian banyak cewek yang digosipi dengan Dewa, dia sampai sebegitu marahnya ketika digosipi dengan Annisa.
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatamorgana
Teen FictionAkan kuceritakan sebuah kisah tentang mereka yang bertemu untuk mengukir kenangan bersama.