❄ Sembilan

535 35 6
                                    

Hai-hai.....kira2 gimana ya nasib verin kita?.
Author bakal buat kalian penasaran di chapter ini, kira-kira apa ya?.Yuk langsung aja!

Check it out!

Penasaran ya?........





Dua tahun kemudian.......

Siulet-siulet bunyi kendraan terdengar begitu ramai seperti kicauan burung yang bergema di pagi hari. Namun dalam kondisi yang berbeda, teriknya panas matahari melengkapi sudah kegerahan yang dirasakan oleh semua pengguna jalan. Hal itu sudah dianggap biasa bagi setiap orang jika jalan selalu di padati kendaraan saat siang hari. Saat dimana semua orang sudah kembali dari aktivitas mereka. Tak jarang setiap kendaraan membunyikan klakson sebagai tanda ingin segera keluar dari kondisi jalan yang menyiksa kesabaran itu a.k.a macet.

Tinnnnn....

Hal yang sama dirasakan pula oleh seorang gadis berambut panjang yang masih mengenakan seragam putih abu-abu di badannya. Sejak tadi ia tak henti-hentinya membunyikan klakson mobilnya. Keringat sudah berjatuhan membasahi pelipisnya. Rambut panjangnya yang awalnya digerai di ikatnya dengan asal karena merasa sangat tersiksa dengan cuaca yang cukup panas apalagi kondisi jalan yang sangat macet. Sial, mungkin itulah kata yang ada di otak saat ini.

Drt... Drt...

Gadis itu melirik ponselnya yang diletakan di samping kursi kemudinya.

Mengetahui siapa yang menelfonnya, ia menghela nafas kasar. Bukannya segera mengambil ponselnya ia justru membiarkan benda pipih berwarna gold itu terus bergetar.

"Astaga!". Pekiknya tak tahan lagi harus menunggu berapa lama dalam kondisi seperti itu. "Mana udah telat 1 jam lagi". Ucapnya resah mengetuk-ngetuk kemudinya.

1 jam kemudian.......

"Mama!". Teriak seorang anak kecil berwajah cubby yang kira-kira berumur dua tahun, rambut tipisnya yang di ikat dua ke atas membuatnya terlihat sangat manis dan lucu.

Gadis kecil itu berlari keluar rumah saat melihat mobil memasuki halaman rumah megah itu. Pintu mobil pun terbuka dan tebak siapa orang itu. Dia adalah inge, yang masih mengenakan seragam sekolahnya dengan sebuah ransel hitam di tangan kanannya. Ia tersenyum melihat putrinya yang berlari ke arahnya.

Dua tahun berlalu sudah dan kini inge telah menjadi seorang ibu dan juga seorang istri. Namun perannya sebagai ibu sekaligus seorang istri tak membuatnya berhenti untuk melanjutkan pendidikannya.

"Hati-hati sayang". Ucapnya takut anaknya tersandung. Namun gadis mungil itu terus berlari ke arahnya.

Inge merentangkan tangannya sedikit menunduk menyambut putrinya. Rasanya sangat menenangkan jika sudah melihat anaknya tersenyum berlari ke arahnya.

"Mama, elen kangen mama". Memeluk inge dengan erat menyandarkan kepalanya ke pundak inge. Inge mengelus rambut halus putrinya, mengerti jika sejak tadi putrinya sudah menunggunya. "Elen kok sendirian kak el mana?". Tanya inge masih memeluk putrinya. Yang ditanya tak kunjung menjawab. Inge mengerutkan kening tak biasanya elen diam jika ia sedang menanyakan sesuatu.

Hingga akhirnya inge paham saat mendengar deru nafas teratur milik elen. "Ya, tidur. Gak salah sebelas dua belas sama papanya". Ucap inge tersenyum lalu mengendong elen masuk ke dalam rumah.

"Elen sayang kamu dimana?".
Panggil seseorang dari dalam rumah, mencari keberadaan gadis mungil itu.

"Nyonya, non elen tidak ada di kamar dan juga di ruang bermain". Ucap seorang pembantu menghampiri wanita yang kira-kira berumur 50 tahun itu. "Kalau gitu kamu coba cari diluar mungkin mang ujang tahu keberadaan elen". "Baik nyonya". Ucap pembantu itu hendak berjalan ke luar namun kehadiran inge dengan menggendong elen menghentikan langkahnya.

"Loh, kamu udah pulang sayang?". Tanya wanita yang sudah tak mudah lagi diusianya itu. "Ia oma, tadi elen nyamperin inge ke depan sekarang malah tertidur di gendongan aku". Jelas inge.

"Sini non ranselnya biar bibi bawa". Ucap pembantu itu melihat inge kesusahan menenteng ranselnya.

"Yaudah elen biar oma bawa ke kamarnya, kamu mandi terus makan dan istirahat. ".Mengambil elen dari gendongan inge yang tertidur pulas. Merasa kasihan pada inge yang setiap harinya selalu di sibukkan dengan sekolah dan juga mengurus elen dan el.

"tadi oma ajak tidur, dia gak mau katanya mau sama kamu, pas oma mandiin el dia malah ngilang". Tersenyum menatap sang cucu yang semakin hari semakin menggemaskan.

"Oh ya oma, El dimana? Kok gak kelihatan". Tanya inge penasaran pada anaknya yang satu itu. "Biasa lagi di kamarnya". Inge pun paham dan segera menuju lantai atas mengecek jagoannya itu. Kira-kira apa yang membuatnya betah berada di kamarnya.

"El sayang mama pulang!". Inge membuka pintu kamar anaknya mendapati el sedang duduk di meja belajarnya. Anak berumur dua tahun itu sangat berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Ia cenderung tumbuh menjadi pribadi yang misterius dan juga jenius. Yang dilakukannya setiap hari hanya mengerjakan sesuatu yang hingga saat ini inge sendiri tidak tahu apa yang dikerjakannya.

Bocah lelaki itu menoleh menatap inge dengan tatapan datar sama sekali tak berekspresi. Bola matanya yang bulat dengan alis tebalnya membuatnya terlihat begitu manis. Inge tersenyum berjalan ke arah putranya.

"Lagi belajar ya?". Elno yang kerap disapa el itu mengangguk tak lupa menutup bukunya. Meskipun tak berekspresi ia selalu menjawab pertanyaan inge meskipun hanya dengan anggukan. Inge sendiri bingung pada anak lelakinya itu, seharusnya anak seusianya yang saat ini sedang aktif-aktifnya bermain akan selalu berlari ke sana sini atau memainkan mobil-mobilan namun el sangat berbanding terbalik dengan semua itu yang justru menjadi ciri khas anak berbola mata bulat itu.

"El mau ketemu papa". Menatap inge seperti sedang memohon. Inge menghela nafas, setiap kali elno menatapnya seperti itu ia akan membayangkan wajah seseorang. Menjadi seorang ibu di usianya yang masih sangat mudah membuatnya harus siap pada hal-hal yang tak bisa ditebaknya.

"Papa bentar lagi pulang kok, papa lagi ada urusan sayang. Ikut mama ke bawah aja yuk". Bujuk inge.

El mengangguk. "Gitu dong jagoan mama". Mencium pipi kanan el gemas. El hanya diam membiarkan inge menciumnya.

...........

Inge baru saja menidurkan el yang mulai rewel mencari papanya sedangkan elen sudah tidur sejak tadi. Jam sudah menunjukkan pukul 21 malam.

Kamar el dan elen yang dibuat terpisah membuat inge kerepotan mengawasi kedua anaknya kembar tak identik itu. Apalagi kepribadian mereka yang saling bertolak belakang. Elen yang terkesan cerewet sedangkan el pendiam terlihat seperti orang dewasa dimata inge.

El yang saat ini ditidurkan dikamarnya disengaja inge agar bisa mengawasinya putra jeniusnya itu sedangkan elen sudah di temani oleh omanya.

Inge duduk dikursi belajarnya, meregangkan badannya sejenak dengan mata terpejam. Setelah dirasanya cukup, inge mengambil tas ranselnya yang di letakan di bawah meja belajarnya. Lalu mengambil buku dari dalam ranselnya untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Meskipun lelah ia tetap tidak melupakan jika dirinya adalah seorang siswi SMA yang harus tetap mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.

Merasa el selalu bergerak karena tak nyaman tidur dengan kondisi ruangan yang terang, inge beranjak dari kursi belajarnya mematikan lampu kamarnya. Setelah itu ia kembali ke meja belajarnya yang hanya di temani lampu belajar.

Pintu kamar inge terbuka, seseorang yang tak begitu terlihat jelas menyimpan sesuatu di sofa dan beralih mendekati inge yang sedang serius menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya.

Inge sadar jika seseorang telah memasuki kamarnya, hanya saja ia masih sibuk dengan tugas-tugasnya. Inge menghentikan aktivitasnya, karena seseorang memeluk lehernya dari belakang. Merasa rasa peningnya sedikit meredah. Pelukan sang suami cukup mujarab baginya jika sedang pusing ataupun lelah.

"I love u". Ucap sang suami mengecup pucuk kepalanya. "Love you more". Inge memegang tangan sang suami yang berada di pundaknya tersenyum dalam kenyamanan.

To be continue.


Tinggalkan jejak alias coment and vote 👌👌👌👌

Verin (vernon & inge) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang