Tiga puluh empat

333 23 5
                                    

"Anda?".

"Bisakah kita berbicara sebentar?". Ucap sanjaya dengan sorot pandangan mata yang serius. Brama mengalihkan pandangannya ke tempat lain kesal pada sanjaya yang tak tahu malu berani muncul di hadapannya setelah menghina keluarganya empat tahun lalu.

"Maaf, saya pikir tidak ada yang perlu saya bicarakan dengan anda". Berjalan melewati sanjaya. "Bukankan putri anda sangat berarti bagi hidup anda?". Ucapan sanjaya  sukses menghentikan langkah brama.

"Begitu juga dengan putraku, dia sangat berarti bagi saya".

Saat ini brama dan sanjaya berada di sebuah restoran VIP yang telah di persiapkan sanjaya.

"Mungkin kata maaf takan bisa, menghilangkan rasa penghinaan yang pernah saya lakukan untuk keluarga anda di masa lalu". Ucap sanjaya memulai pembicaraan setelah meneguk air putih di hadapannya.

"Saya pikir orang seperti anda tidak akan pernah mengatakan hal itu".

"hidup manusia pada akhirnya akan selalu diakhiri sebuah penyesalan meskipun apa yang mereka lakukan memiliki alasan dan mereka yang merasa benar tak pernah ingin tahu apa alasan dibalik semua itu".

Brama terdiam mencerna perkataan sanjaya yang terdengar menyampaikan sesuatu yang tersirat namun hanya diucapkannya melalui kata-kata perumpamaan.

"Jika kodrat manusia seperti itu, lalu bagaimana dengan orang yang mengalami kesulitan bahkan penderitaan karna penyesalan itu? Apakah semuanya akan berubah jika ia datang dan mengakui kesalahannya? Tidak, itulah jawabannya begitu juga dengan keputusan anda saat ini sama sekali tidak akan mengubah segalanya".

"Sebagai seorang ayah saya memahami apa yang anda rasakan. Namun melihat seseorang hanya dengan tindakan dan sikapnya saja itu tidak cukup. Jika anda menjalani hidup karna keinginan orang lain apakah anda bisa menjalani hidup dengan mudah?".

Brama semakin bingung dengan permainan kata-kata sanjaya. Sosok sanjaya yang pernah datang ke rumahnya empat tahun lalu sungguh berbanding terbalik dengan saat ini. Bijaksana kira-kira itulah yang tergambar dari wajahnya saat ini.

"Mungkin perkataan saya sudah sangat membingungkan anda. Namun seperti itulah yang terjadi. Anak saya yang saat itu masih berusia enam belas tahun apakah di usia seperti itu ia mampu menjalani kehidupan layaknya sepasang suami istri pada umumnya? Tidak, bahkan di kehidupan nyata tak ada rumah tangga yang menikah pada usia seperti itu karna melanggar hukum meskipun fakta yang ada menunjukkan sebaliknya. Namun karna kesalahan dan kecerobohan anak saya... ah tidak itu bukan kesalahan namun dosa besar yang seharusnya tidak dilakukannya. Bukankah dalam keyakinan anda ia seharusnya bertanggung jawab?". Menatap brama seakan menunggu jawaban yang sesuai dengan ucapannya. Namun lelaki paruh baya yang memiliki jenggot tipis itu terlihat berpikir keras berusaha memahami maksud pembicaraan sanjaya.

"Yang terjadi saat ini bukan tanpa alasan meski terlihat kasar di permukaan namun sesungguhnya ada sesuatu yang halus tersembunyi di  balik semua itu. Apa yang saya lakukan bukan semata-mata untuk kepentingan saya sendiri atau keluarga saya tetapi untuk kepentingan anak-anak kita dan juga keluarga anda. Itulah alasan mengapa saya menikahkan vernon dan anak anda secara diam-diam seorang diri tanpa sepengetahuan istri saya. Saya minta maaf karna tidak memberitahu anda sebelumnya". Menatap brama yang terkejut dengan pandangan pasrah dan juga rasa bersalah meskipun apa yang dilakukannya demi kebaikan inge dan vernon.

"Apa yang anda katakan?".

"Anda mungkin tidak percaya, namun itulah yang terjadi. Sebagai saksi anak saya yang memutuskan berpindah keyakinan itu tidaklah mudah namun menjadi saksi pernikahannyalah yang tersulit dalam hidup saya meskipun saat itu saya sudah melanggar hukum pernikahan dengan menambah umurnya untuk memenuhi persyaratan yang ada. Orang tua tak memiliki alasan untuk tidak membahagiakan anak-anaknya karena mereka sangatlah berarti".

Verin (vernon & inge) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang