ORIGINAL 10

557 56 20
                                    

"KYAAAAAA!!!!"

Noca tidak bisa membendung perasaannya sendiri. Entah bagaimana yang dia dirasakan. Semuanya tercampur aduk menjadi satu. Tapi yang jelas wajah hingga telinganya tidak hentinya panas dan memerah.

Tangannya ingin mencabik-cabik apapun yang ada di dekatnya. Giginya ingin mengunyah kuat-kuat. Kakinya ingin melompat-lompat hingga toilet sekolah lantai dua jebol ke dasar bumi.

Malu. Greget. Merasa bodoh. Canggung. Entah apa lagi yang bisa mendeskripsikan perasaan Noca. Yang jelas dia tidak tahu harus bagaimana.

Dua menit lagi bel pelajaran dimulai. Tapi Noca masih terduduk di balik bilik toilet sekolah. Kakinya bergetar-getar gelisah. Semetara jarinya sibuk digigit giginya.

Gelisah memikirkan bagaimana ia harus ke kelas dan bertemu Indra? Lebih-lebih mereka duduk bersama. Mau dikata apa nanti kalau ketemu Indra kalau mukanya masih panas dan merah begini? Lebih-lebih jantungnya masih betah olahraga.

Bagaimana ini?

Jantung oh jantung kenapa dag dig dug ser tak karuan begini?

Naren juga. Cowok itu pasti bakal habis-habisan membuatnya malu dan jengkel. Bisa saja dia sudah mengumbar kejadian tadi pada teman-teman sekelas. Image buruknya pasti bertambah kali ini.

Bip-bip.

Argana
Ca, lo dimana? Gurunya nyariin nih?!
Lo bolos, Ca?
Indra juga nyariin nih! Udah kek bokap yg kehilangan anak aja tw gak!

"Anjir." umpat Noca.

Diamatinya jam di layar atas ponsel. Ternyata sudah lewat dari 10 menit jam pelajaran sehabis istirahat.

"Double anjir."

Resah menggerayangi Noca. Bagaimana dia bisa kembali dengan perasaan berdebar begini? Bagaimana bila perasaannya sudah tenang tapi malah melihat Naren atau Indra? Akankah jantungnya bisa berhenti berdebar tak karuan begini atau malah semakin berdebar hingga menimbulkan suara yg dapat di dengar orang-orang?

Noca menumpuk kedua telapak tangan di dada kiri. Dia berdiri. Tapi duduk lagi di atas closet duduk.

Berulang kali dia menarik napas dan menghembuskannya. Terakhir, dia menarik dan menghembuskannya dengan kasar. Seolah dengan begitu semua debar-debar itu bisa berhenti bertingkah abnormal. Walau masih kurang normal, Noca memaksakan diri.

Dia berdiri, lagi.

"Lo bisa, Ca. Pasti bisa. Pura-pura cuek. Pura-pura tidak terjadi apa-apa." ujarnya.

Dengan sekali tarikan napas Noca membuka bilik pintu kamar mandi dan melangkah menyusuri lorong menuju kelas. Dia melangkah dengan kepala tegak. Kembali menjadi Noca yang semula, yang menerjang hadang rintangan yang ada di setiap langkah.

Sekali lagi, Noca membuka pintu dengan sekali tarikan napas. Dia melangkah dengan kepala tegak dan tanpa ekspresi. Dia tetap bertahan dengan sikapnya walau seluruh murid dikelas yang awalnya ribut diam seribu bahasa mengamatinya yang terlambat datang ke kelas.

"Ca, lo ke mana aja?" serobot Indra begitu Noca hendak mencapai bangku mereka.

Noca terdiam.

"Ca, tadi gue di suruh guru kesenian nyampein buat catat materi bab pertama di buku ini ke ketua kelas." ujar Hera, sekretaris kelas sebelas IPA SMA Genitri. Dia duduk tepat di samping Indra di meja sebelah yang satu tempat bangku dengan Noca.

Noca sadar sepenuhnya bila itu tugas seorang sekretaris. Dia juga sadar kalau dia bisa melimpahkan tugas menyalin materi dari buku ke papan tulis.

ORIGINALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang